Senin, 14 November 2011

Radikalisme dan Kebudayaan

0 komentar

Ketika bom-bom mulai banyak diIndonesia sejak 1999,dengan bom gereja yang berlanjut dengan Bom Bali I dan IIsampai Bom Marriot I (2003), pemerintah, khususnya aparat kepolisian, belumtahu motif pelaku, latar belakang permasalahan, dan siapa-siapa yang berada dibalik terorisme ini. 
Bahkan sempat berkembang teorikonspirasi Amerika Serikat-Kristen yang mendalangi terorisme di Indonesia.Katanya tidak mungkin Imam Samudra dan kawankawan membuat bom sehebat itu, yangmenurut gambar foto atau video amatir (yang konon bisa dipercaya) ledakannyamembuat bentuk cendawan, seperti bom atom Hiroshima. Namun Bom Bali Iterbongkar dengan teknologi pinjaman dari Australia dan negara lain. 
Walaupun dengan disertai otakpolisi Indonesia.Tapi setelah itu Polri mendapat pengalaman yang sangatberharga dan dibentuklah Satgas Bom dan kemudian Densus 88.Dengan adanya satuankepolisian yang mengkhususkan diri pada terorisme, akhirnya bukan hanyajaringan terorisme yang bisa dibongkar dan dikendalikan (jumlah mereka terbatasdan orangnya ternyata hanya itu-itu saja), melainkan anggota- anggotanya punbisa dibina dan sebagian bisa direedukasi (walaupun dalam jumlah yang sangatterbatas). 
Karena itu Indonesia sempat “sepidari bom” antara tahun 2004 hingga 2009. Tapi kemudian terjadi Bom Marriot II(2009) dan sesudah itu berturut-turut Bom Cirebon, bom buku, dan Bom Solo(semuanya 2011).Juga terbongkar kamp pelatihan militer liar di Aceh. Saatartikel ini ditulis pada Sabtu,12 November 2011, Densus 88 menangkap lagi tigaorang yang diduga teroris di Tangerang serta diduga mereka menyembunyikansenjata-senjata mereka di hutan kota di Kampus UI,Depok.Luar biasa. 
Siapa yang akan menyangka kawasanUI akan menjadi tempat menyembunyikan senjata? Tapi itulah kenyataannya. Siapapelakunya,masih dalam penyelidikan polisi, tetapi saya hampir pasti,tentunyawajah-wajah baru lagi. Munculnya wajah-wajah barudaripelaku-pelakuaksidan bomyang mutakhir perlu diperhatikan. 
Nama-nama seperti Ibrahim, MSyarif, Pepi atau Hayat tidak dikenal sebelumnya oleh polisi maupun para pelakuyang sudah ditangkap atau dikenal (dan masih berhubungan baik dengan) polisi.Begitu juga saya kira para penyimpan senjata di UI. Berarti sudah munculsel-sel radikal baru yang berkembang di luar organisasi dan jalur yang selamaini sudah diketahui (DI/ NII, Komando Jihad,eks Afghanistan,Ngruki, Lamongan,Banten, JI, MMI, JAT, dll).
Mungkin secara organisatorissel-selbaruinitidakada hubungan dengan jaringan yang lama,tetapi secara ideologismereka sama,yaitu mau menegakkan syariah Islam,baik dengan mendirikan NIImaupun tidak. Adanya sel-sel baru ini sudah diduga oleh beberapapeneliti. 
Prof Dr Komaruddin Hidayat pernahmenulis di SINDO juga tentang 10 ciri remaja radikal yang mulai banyak disekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi (antara lain: mengafirkan oranglain,termasuk orang tuanya sendiri, meminta uang untuk berbagai keperluankepada orangtua,atau bahkan mencuri untuk disetorkan ke organisasinya,dsb). 
Prof Dr Bambang Pranowo pernahmengumumkan hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa 49% dari respondennya(pelajar SMA non-agama/umum di Jabodetabek) setuju pada kekerasan atas namaIslam. Ternyata beberapa literatur (antara lain: Dari NII ke JI) menunjukkanbahwa radikalisme, baik yang berujung kekerasan dan teror maupun yang tidak(melalui jalur partai politik), tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan salingterkait dan sambung-menyambung sejak Proklamasi NII (1949) oleh Kartosuwiryo,termasuk pembajakan pesawat Woyla oleh kelompok Imran (1981) dan peristiwaTanjung Priok (1984). 
Karena itu analisis denganmenggunakan paradigma ideologi dan sejarah sangat penting untuk mengungkapkanapa sebenarnya yang mendasari radikalisme Islam di Indonesia. Apalagi,pengalaman saya pribadi (dibantu tim UI dan UIN) membuktikan bahwamenderadikalisasi mantan pelaku teror sangat sulit dan memerlukan waktulama.Selama dua tahun, kami hanya berhasil mengubah perilaku beberapa puluhmantan pelaku saja,yang sebetulnya tidak seimbang dengan biaya dan tenaga yangdiinvestasikan ke program itu (deradikalisasi). 
Di sisi lain, mengubah ideologikelompok lebih tidak mudah lagi.Apalagi kalau kelompok- kelompok ini makin lamamakin besar dan sudah memasuki sektor-sektor formal seperti pendidikan dansistem politik. Namun kita juga tahu bahwa Islam menjadi agama mayoritas diIndonesia melalui jalur budaya dan kehidupan sosial masyarakat.
Karena itu kita temui Islam diJawa Tengah yang percaya pada Nyai Loro Kidul, Islam di Sumatera Barat yangmenganutmatrilineal,dan Aceh yang disebut Serambi Mekkah. Semuanya tidak adadalam ajaran Islam, tetapi sudah menjadi budaya dan gaya hidup bermasyarakat ditempat masing-masing di Indonesia. 
Gerakan pemurnian Islam yangsudah ada sejak zaman sebelum perang kemerdekaan RI diperkuat dengan pecahnyaRevolusi Iran dengan tokohnya Ayatullah Khomeini yang dianggap sebagaiperlambang supremasi Islam atas Amerika Serikat (walaupun orang Indonesiamenganut Suni, bukan Syiah).
Kemudian masuk ajaran- ajaranWahabi yang dibawa oleh mahasiswa Indonesia yang studi ke Arab atau Mesir, makakemudian timbullah pengajian- pengajian Salafi yang dimulai di kampus-kampus diPulau Jawa. Dana pun berdatangan dari pemerintah atau pihak lain di Arab Saudiuntuk pembangunan sarana-sarana pengembangan Islam (masjid,sekolah,universitas). 
Kemudian muncul Osama bin Ladenyang mendanai gerakan- gerakan kekerasan dan teror Indonesia (merekamenamakannya jihad fi sabilillah) melalui Abdullah Sungkar (alm) dan Abu BakarBaasyir, yang dimulai dengan pengiriman pemuda-pemuda Indonesia ke akademimiliter di Afghanistan. Osama bin Laden,Abdullah Sungkar, Noordin M Top, DrAzahari dll sudah tidak ada. 
Abu Bakar Baasyir dipenjaraselama 9 tahun (dipotong oleh pengadilan tinggi dari vonis Pengadilan NegeriJakarta Selatan 15 tahun), dengan demikian salah satu jalur terorisme sudahdipersempit gerakannya, bahkan sudah bisa dikunci oleh polisi.Tapi polisi,bahkan pemerintah, di era reformasi, demokrasi, dan HAM ini tidak mungkinmengunci penyebaran ideologi radikal yang terus menyebar, bukan hanya di antaragenerasi muda, melainkan juga di kalangan muslim awam lainnya, termasuk pejabatdan petugas pemerintah serta tokoh-tokoh masyarakat (yang makin bergeser kearah radikalisme). 
Karena penyebaran agama Islam diIndonesia terjadi melalui jalur budaya dan ideologi radikal masuk ke Indonesiajuga melalui jalur budaya, maka pencegahan, netralisasi atau deradikalisasiideologi radikal juga harus melalui jalur dan pranata budaya.Salah satu contohadalah mengembalikan wayang ke pesantren (salah satu media penyebaran Islamoleh para wali adalah melalui wayang). 
Media film (seperti Ayat-AyatCinta) dan televisi juga sangat populer (tetapi jangan dalam bentuk monologtradisional yang peringkatnya hampir nol) serta dapat dimanfaatkan untukmencegah radikalisme. Di samping itu, pengajaran agama Islam dan guruguru agamaIslam di sekolahsekolah dan pesantren-pesantren serta imam-imam khotbah perludikontrol, misalnya dengan sertifikasi dan sanksi jika melanggar. 
Jangan dilupakan juga peranorganisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang sudah mempunyaipranata sosial budaya yang lengkap (rumah sakit, pantiasuhan,sekolah,universitas, organisasi wanita,pemuda, politik,dsb). 
Tentu saja masih banyak contohlain.Gerakan Pramuka, misalnya. Intinya adalah kita perlu rekayasa sosial.Tapijelas bukan rekayasa model P4 di zaman Orde Baru._
 Sarlito Wirawan Sarwono Guru BesarFakultas Psikologi UI, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
Sumber: Harian Seputar Indonesia

Leave a Reply

Label