Senin, 09 Januari 2012

Pesantren Al-Asyikin II, Pejajaran Cicendo Bandung

0 komentar
ilustrasi pesantren, image: humaspdg
Terletak di Kelurahan Pejajaran, km sebelah utara kota kembang, Bandung, di jalan Pandu (kini Jalan Pesantren Wetan). Didirikan tahun 1912 oleh KH. Zarkasyi bin KH. Ahmad. Sudah beberapa kali pesantren ini mengalami pemugaran. Luas bangunannya pada tahun 1985, 250 m2 berdiri di atas tanah seluas 1,5 ha. Santrinya berjumlah 75 orang, 25 diantaranya putri. Sepeninggal Kyai Zarkasyi, pesantren diasuh oleh putra-putranya, KH. Syamsudin Thoha, KH. Burhanuddin, dan lain sebagainya.
Sewaktu pesantren masih diasuh KH. Zarkasyi, pesantren mengalami perkembangan yang begitu pesat, hingga jumlah santrinya mencapai 500 orang lebih. Sepeninggalnya pesantren mengalami kemunduran. Di bawah kepemimpinan KH. Badrudin, pesantren ini nampak kembali mengalami kemajuan. Namun demikian, pengasuh masih mengalami adanya hambatan, terutama dalam hal mutu pendidikan pesantren yang harus berani bersaing.
Sistem pendidikna klasikal samapai sekarang belum diterapkan. Santri dididik dengan sistem sorogan mempelajari kitab Fathuh Wahab, Fathul Qorib, Tijan Durori, Tafsir Jalalain, Alfiyah, Riyadus Shalihin dan lain-lain.
Menurut Kyai Badrudin Zarkasyi, pesantren sekarang harus membuka pintu untuk mengajarkan pelajaran umum atau membuka sekolah umum. "Ini sangat penting dazlam rangka membina kader-kader ulama yang intelektual," tandasnya, terutama untuk mengimbangi sekolah Kristen yang kini berdiri dekat komplek pesantren.
Continue reading →

‘Pesantren’, new media and moderate Islam

0 komentar
image source: technorati
Facebook and Twitter have been used as a tool of communication between friends, a medium for business and, most importantly, as a means of political resistance, as evident in the Middle East during the so-called Arab Spring.

We have seen many examples of how social media helped people to communicate, gather, criticize and even liberate their societies from despotic and undemocratic governments, starting in Tunisia and then in Egypt and Libya.

The movement has presented us with much to ponder about the impact of borderless new media. 

The emerging political situation inspired the Muslim World League to convene its second International Conference on Islamic Media in Jakarta — exactly 32 years after its first iteration, which Jakarta also hosted. 

Why on earth have Arab countries (i.e. the Muslim World League) waited for so long to have another conference? Naturally, the Arab Spring forced Arab countries in particular and Muslim countries in general, to respond to situation in their own countries. 

Instead of talking about what happened in the Middle East, I want to look at the impact of new media on Indonesian Muslim society, especially in Islamic boarding schools or pondok pesantren. 

Indonesian pesantren especially those affiliated with Nahdlatul Ulama, the nation’s largest Muslim social and political organization, are famous. The schools are proponents of a moderate form of Islam that promotes democracy, interfaith dialog and conflict resolution, among other things. Many researchers, both Indonesian and foreigners, have agreed on this. 

Nevertheless, that is not enough. We need to do more, particularly in educating people to have, understand and believe in the principles of moderate Islam. This would be more effective if moderate message were disseminated over the Internet, either via new media websites such as Facebook or Twitter. However one question emerges: Are pesantren even aware of the power of new media and social networking websites? 

The answer is not encouraging. Islamic boarding schools in Indonesia are mostly unaware of the importance of new media. Essentially, pesantren students are “new-media illiterate”. This is evident via a simple Google search. Type “Pondok Pesantren” or name of another Islamic boarding school and you will find a host of websites. 

Click through and observe how their sites are configured. Usually the websites are modest; some are a bit more complicated. Most merely provide information about their institutions, their histories and maybe some recent activities. 

If we ask about the schools’ teachings, religious guidance, opinions or even edicts (fatwa), most, if not all of the websites, have no answers. This is unfortunate. In reality, guidance is something that is very much needed by most Indonesian Muslims. 

This little experiment shows that most pesantren use the Internet as mode of communication, although it looks like they are not aware of its massive power, especially to educate other Indonesian Muslims about moderate Islam.

Now let’s take a look at the websites affiliated with hard-liners. What we find is a contrast in style. They are very literate and effective in their use of the Internet. Look at arrahmah.com, for example, now under scrutiny from the National Counterterrorism Agency (BNPT) and which may soon be banned, or suara-islam.com. Both disseminate radical thoughts that endanger Indonesia as a plural and democratic society. 

It is unsurprising, therefore, that some in the West think that Islam is a violent and intolerant religion when they browse through those radical websites. Moderate groups such pesantren simply do not have the capability or the awareness to disseminate their teachings through new media. 

Many things must be done. First, pondok pesantren — perhaps under the aegis of Nahdlatul Ulama, as their sponsor, or Muhammadiyah — must educate their followers to be more literate about the Internet, especially in how to use new media as a tool to disseminate moderate ideas.

Second, it is obvious that the government, specifically the Religious Affairs Ministry and the National Counterterrorism Agency (BNPT), must cooperate to educate and train pesantren to use new media properly and effectively. 

By mastering such digital skills, pesantren can create new ways to spread religious authority, such as through question-and-answer forums, as we find in local newspapers, where ulema answer questions related to any problem in society. 

Education would be more effective than banning radical websites, which runs counter to the hard-won rights of freedom of the press and freedom of speech in this country. 

The writer is the director of A. Wahid Hasyim Library at the Tebuireng Islamic boarding school in Jombang, East Java.

Source: The Jakarta Post
Continue reading →
Selasa, 03 Januari 2012

PBNU Kecam Kekerasan Atas Nama Agama

0 komentar
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj (tengah) didampingi Ketua PBNU Arvin Hakim Thoha (kiri) dan Wakil Ketua Umum PBNU As'ad Said Ali berbicara terkait aksi pembakaran pondok pesantren Syiah yang terjadi di Sampang, Madura, Jawa Timur, saat jumpa pers di Kantor PBNU, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Selasa (3/1). Dalam pernyataannya PBNU mengecam tindakan kekerasan berujung pada pembakaran sekolah, musala dan rumah pada Kamis 29 Desember 2011 yang mengatasnamakan agama.

MI/SUSANTO/pj
Sumber: Media Indonesia
Continue reading →

Hak Asasi Manusia Perspektif NU

0 komentar

Hak asasi manusia (HAM)—sebagaimanatertuang dalam Universal Declaration of Human Rights yang diproklamasikan PBBpada 10 Desember 1948—harus ditafsirkan dengan adil dan benar. Tujuannya agartidak disalahgunakan oknum-oknum tertentu.
Terjadi pembelokan—bahkan pembalikan—arusdalam pergulatan penegakan HAM di Indonesia, dari yang semula penuh pelanggarandan sangat represif oleh aparat negara menjadi lebih berpihak kepadaperlindungan HAM yang, bahkan dalam kasus tertentu, cenderung mendesak danmengalahkan aparat negara.
Hal ini dapat dilihat paling tidak darilahirnya berbagai peraturan perundang-undangan (termasuk perubahan konstitusi)yang lebih memberi tempat pada konvensi-konvensi internasional tentang HAMdengan imperasi yang lebih kuat maupun dalam proses penanganan kasus-kasus HAMyang diproses secara hukum (Mahfud M.D., 2006).
Islam merupakan ajaran yang menempatkanmanusia pada posisi yang sangat tinggi. Bahkan Alquran menjaminnya adanya hakpemuliaan dan pengutamaan manusia, sesuai dalam firmannnya dalam Q.S. Al Isra’: 70, ”Dan sesunguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut merekadi daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kamilebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yangtelah kami ciptakan”. Manusia memiliki hak al karomah dan hak al fadhilah.Apalagi misi Rasulullah adalah rahmatan lil ‘alamin, di mana kemaslahatan ataukesejahteraan merupakan tawaran untuk seluruh manusia dan alam semesta.
Islam ditempatkan dalam kerangkauniversalisme peradaban. Universalisme itu tecermin dalam ajaran-ajarannya yangmemiliki kepedulian tinggi terhadap unsur-unsur utama nilai kemanusiaan dengandiimbangi oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam itusendiri. Relevansi dan implementasi ajaran agama harus diukur berdasarkanpertimbangan kemaslahatan seluruh umat manusia dan prinsip-prinsip dasar untukmewujudkan kesejahteraan bersama (mabadi’ khairu ummah) yang dirumuskan dengancakupan yang luas. Dengan begitulah agama menjadi kekuatan pembebas dan penyatuberbagai kepentingan dalam masyarakat. (Abdurrahman Wahid, 1995).
Sebagai ormas Islam terbesar diIndonesia, Nahdlatul Ulama (NU) sangat mendukung terwujudnya nilai-nilai(values) HAM dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bukan sekadar teori atauwacana, NU pun sudah melaksanakannya. NU sangat konsen dengan penegakannilai-nilai HAM di Indonesia, hal ini tertuang sesuai dengan KeputusanMusyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama pada 1997 di Lombok, NusaTenggara Barat, dengan merekomendasikan agar lima prinsip dasar kemanusiaanmenjadi konsep yang utuh untuk memperjuangkannya terwujudnya al-huquqal-insaniyyah (HAM) secara aktif dan sungguh-sungguh di bumi Indonesia.
Pertama, hifzh al-din, memberikan jaminanhak kepada umat Islam untuk memelihara agama dan keyakinannya (al-din).Sementara itu Islam juga menjamin sepenuhnya atas indentitas (kelompok) agamayang bersifat lintas etnis, oleh karena itu Islam menjamin kebebasan beragama,dan larangan adanya pemaksaan agama yang satu dengan agama yang lainnya.
Kedua, hifzh al nafs wa al-’irdh,memberikan jaminan hak atas setiap jiwa (nyawa) manusia, untuk tumbuh danberkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menutut adanya keadilan, pemenuhankebutuhan dasar (hak atas penghidupan) pekerjaan, hak kemerdekaan, dankeselamatan, bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan.
Ketiga, hifzh al-’aql, adalah adanyasuatu jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasanmengeluarkan opini, melakukan penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalamhal ini Islam melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan,penggunaan ekstasi, minuman keras dan lain-lain.
Keempat, hifzh al-nasl, merupakan jaminanatas kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas profesi (pekerjaan),jaminan masa depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik danberkualitas. Free sex, zinah menurut syara, homoseksual adalah perbuatan yangdilarang karena bertentangan dengan hifzh al-nasl.
Kelima, hifzh al-maal, dimaksudkansebagai jaminan atas pemilikan harta benda, properti dan lain-lain. Danlarangan adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain, seperti mencuri,korupsi, kolusi, monopoli, oligopoli, dan monopsoni.

Limaprinsip dasar kemanusiaan (al huquq al insaniyyah) di atas sangat relevan danbahkan seiring dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia (HAM). Di sampingitu, Islam sebagai agama tauhid, suatu keyakinan (akidah) yang secaratransendental, dengan menisbikan tuntutan ketaatan kepada segenap kekuasaanduniawi serta segala perbudakan manusia dengan berbagai macam jenis kelamin,status sosial, warna kulit dan lain sebagainya. Keyakinan semacam ini jelasmemberikan kesuburan bagi tumbuhnya penegakan HAM melalui suatu kekuasaan yangdemokratis. 

Oleh: Akhmad Syarief Kurniawan

(Sumber: Lampung Post, 10 Desember 2010)
Continue reading →

Label