Minggu, 06 November 2011

Posdaya Berbasis Masjid

0 komentar

Masjid adalah sebuah sebuah sarana ibadah yang khas. Diadibangun atas dasar kebutuhan, tidak ada kepemilikan secara personal, ikatanemosional dengan jamaahnya sangat bagus, tidak punya cacat (karena tidak adapemiliknya), tersebar diseluruh penjuru komunitas warga masyarakat, mudahmenerima ide dan gagasan baru yang lelbih bermanfaat bagi warga dan masihbanyak lagi potensi strategis yang dimiliki oleh masjid. Potensi masjid danmushalla yang begitu besar terasa belum dimanfaatkan secara maksimal untukkemakmuran masyarakat lingkungannya. Maka tidak heran apabila ada pendapatbahwa masjid sama sekali tidak peduli dengan persoalan yang terjadi padajamaahnya. Padahal pada zaman nabi, masjid menjadi Pusat PengembanganSumberdaya Ummat. Seluruh persoalan warganya dibicarakan dan dipecahkan melaluimasjid, misalnya soal ekonomi, sosial, politik, budaya dan pendidikan. Karenaitulah ketika Nabi hijrah ke Madinah, pertama-tama yang dibangun adalah masjiddan pasar.

Masjid sebagai lembaga dakwah yang memiliki tugas membangunkesadaran kolektif para jamaahnya, lembaga ini tidak hanya memiliki kewajibanuntuk menyampaikan pesan ilahiyah melalui khotbah (bil-lisan) sebagai tugas kependetaan,tetapi juga, dengan tindakan (bil-khal) sebagai tugas kenabian. Dalambanyak hal orang miskin tidak hanya membutuhkan  khotbah bahwa kemiskinanbukanlah sebuah nasib melainkan sebagai hasil kontruksi sosial, tetapi yangterpenting bagaimana kemiskinan itu harus diubah.

Dalam konteks ini para agamawan memiliki tugas untukmemperbaharui tafsir teologi kemiskinan yang lebih progresif, kontekstual, yangsesuai dengan semangat zaman, yang bukan saja untuk mempertajam kepekaanterhadap kemiskinan dan krisis moralitas, tetapi juga, mendorong  semangat yang lebih rasional dan asketisme dalam menanggapi kebutuhan hidup didunia (inner worldly) serta menipiskan  semangat  skriptualis,legalistik,  serta pelembagaan sikap mistik, yang cenderung meligitimasikegagalan. Singkatnya agama harus difungsikan  sebagai generator kesadarandalam melakukan revolusi kebudayaan untuk pengentasan kemiskinan.

Keterlibatan lembaga keagamaan dianggap strategis, mengingatlembaga-lembaga itu lahir, berkembang dan hidup di tengah-tengahmasyarakatnya.  Sebagai lembaga kemasyarakatan, umumnya  memilikifungsi ganda. Di satu pihak sebagai lembaga pendidikan keagamaan, ia bukanhanya mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat sekitarnya, tetapijuga,  menjadi tempat  berbagi pendapat  tentang segalapersoalan kehidupan yang sedang dihadapi. Masalahnya sebagai lembaga pendidikankeagamaan, ia  tidak di design sebagai lembaga advokasi atau sebagai problemsolver terhadap masalah masyarakat sekitarnya, termasuk dalam pengentasankemiskinan. Di lain pihak sebagai lembaga keagamaan, ia tidak memiliki cetakbiru; bagaimana seharusnya  kemiskinan itu dientaskan. Satu-satunyamodal  sosial yang dimiliki adalah “kepercayaan” (trust). Betapapunkepercayaan telah menjadi basis utama dalam membangun relasi sosial, tetapitrust saja tidak mencukupi jika tidak dilembagakan  dalam organisasi.

Dengan kata lain jika lembaga keagaman ingin dimanfaatkansebagai  ujung tombak pengentasan kemiskinan, paling tidak ada beberapakebutuhan  yang perlu dipersiapkan. Pertama, secara internal lembagakeagamaan masih membutuhkan penguatan kelembagaan dirinya-sendiri, khususnyayang berkaitan dengan pengetahuan manajerial tentang bagaimanapemberdayaan  masyarakat miskin itu seharusnya  dilakukan. Kedua,secara eksternal lembaga keagamaan, idealnya perlu  dipersiapkan secarasemi-permanen  sebagai poros perubahan masyarakat sekitarnya, khususnya dalampengentasan kemiskinan. Dalam konteks ini setiap lembaga keagamaan(masjid)  membutuhkan mitra strategis lembaga-lembaga lain  yangmemiliki kepedulian yang sama terhadap pengentasan kemiskinan.

Di atas segalanya - agama harus bersatu-padu dan bekerjasamadalam memerangi kemiskinan sebagai musuh bersama, daripada membesar-besarkanperbedaan ritual keagamaan yang ujung-ujungnya memupuk perbedaan sebagai memicukonflik sosial. Sudah waktunya, semua aliran Islam di Indonesia meredefinisidiri sebagai kekuatan perubahan (the power of change) bagi umatnya denganmengobarkan  ethos kerja keras, ulet, tahan banting, mengutamakankualitas, berani menggambil risiko dsb,  sebagai ”panggilan” (beruf) Tuhan untuk dalam memakmurkan bumi-Nya (ta’mir al-ardl). Sukses ’duniawi’seperti itu tidak ragu lagi merupakan tanda-tanda bagi pemeluk yang terpilih (Al-Nahl-16:122) dan sebaliknya  kegagalan yang bersumbu pada kemalasan dan kebodohanmerupakan isyarat yang jelas sebagai orang yang tidak terpilih.

Satu hal yang harus diingat bahwa dalam paradigmapembangunan manusia seutuhnya, upaya pengentasan kemiskinan,  tidaksekedar dipahami sebagai upaya pembebasan masyarakat miskin dariindikator-indikator konvensional (pemenuhan sandang, pangan, dan papan) yang bersifatserba agregat (terukur), tetapi juga, merupakan usaha untuk memposisikanmasyarakat miskin memiliki: harga diri (self esteem), kemulian (dignity),kemandirian (independence),   pengakuan (recognition) dankebebasan (freedom). Kebebasan, disini harus dipahami secara lebih luas yakniterbebasnya masyarakat miskin dari  pengasingan hak hidup material yanglayak, kebebasan dari penindasan dan eksploitasi, kebebasan dariketidak-pedulian orang lain dan kebebasan dari kesengsaraan dan kemelaratan ( DenisGoulet, 1977, Moeljarto, 1987).  Dengan demikian pengentasankemiskinan  sesungguhnya bukan hanya dikonsentrasikan pada upayapeningkatan kesejahteraan semata, melainkan juga untuk membangun karakter (characterbuilding) yang mampu membebaskan orang miskin  dari lingkaran nilai-nilai budaya yang cenderung melestarikan kemiskinan itu sendiri.

Atas dasar seluruh pemikiran di atas, model pelaksanaanpengentasan kemiskinan ini akan menggunakan pendekatan ParticipatoryAction Research. Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah ada proses apayang sering disebut “learning by doing”. Seluruh perencanaan dan programpengentasan kemiskinan akan  dilakukan secara bersama-sama denganmasyarakat miskin itu sendiri. Dalam rangka melakukan rencana itu semua adabeberapa hal  yang akan dipersiapkan sebagai agenda kegiatan.

P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat)adalah sebuah LSM yang sejak awal tahun 1980 lalu secara serius melakukanberbagai kegiatan di masyarakat, dalam rangka meningkatakan harkat dan martabatwarga, baik dibidang pendidikan, ekonomi, dan peningkatan wawasan yangberkaitan dengan sikap moderasi sebagai pijakan utama. Karena dengan sikapseperti inilah maka warga masyarakat akan secara sadar mengakui atas perbedaandan keragaman yang terjadi di masyarakat.

P3M memiliki visi Humanis yang menempatkan manusiasebagai landasan dan tujuan, problem kemanusiaan, pembelaan terhadap yanglemah, kemanusiaan yang universal, inklusif dan pluralis. Kritis, mengedepankandialog, konstruktif dan rekonstruktif, reflektif, dan progresif. Transfomatif, berorientasipada perubahan secara demokratis, pemberdayaan, dan adanya rekayasa perubahan. Praksis, tindakannyata, melibatkan masyarakat, advokasi untuk perubahan melalui jalur kulturaldan struktural, serta menjauhi cara-cara kekerasan.

Prioritas issu yang ditangani oleh program P3M antaralain adalah pemiskinan dan peminggiran, kebijakan publik, kerusakanlingkungan, terorisme dan kebencian, konflik sosial, korupsi, intoleransi dankekerasan, ketidakadilan jender dan diskriminasi hak-hak minoritas. Issu-issudi atas dimasukkan ke dalam 3 (tiga) buah program yakni Pendidikan danDiseminasi Gagasan, kedua Advokasi Kebijakan dan Kelembagaan dan yang ketiga,Pengembangan Masyarakat.

Tujuan Program

Tujuan Umum:
Melakukan pembebasan masyarakat miskin dari kemiskinankonvensional (keluar dari kondisi subsistennya) yang tidak hanya bersifatagregat,  tetapi juga, memposisikan masyarakat miskin untuk memiliki:harga diri (self esteem), kemuliaan (dignity), kemandirian (independence),pengakuan (recognition) dan kebebasan (freedom) dari segala bentukketerbelakangan dan eksploitasi, dengan memanfaatkan Masjid sebagai basis kegiatannya.

Tujuan Khusus :
  • Mengoptimalkan fungsi masjid sebagai agen pengentasankemiskinan.
  • Membangun perluasan kesempatan kerja atau akses usaha bagimasyarakat miskin di perdesaan dan  di perkotaan.
  • Melakukan penguatan kelembagaan masyarakat sebagai landasankerjasama guna menolong dirinya sendiri.
  • Optimalisasi sumber daya lokal sebagai landasan peningkatanpendapatan.
  • Penguatan kapasitas permodalan usaha baik melalui penguatan lembaga keuangan mikro, maupun pengembangan kelompok usaha bersama.
  • Meningkatkan kemampuan akses dalam peningkatan produksi,pemetaan pasar, dan stabilitas harga. 
  • Melakukan pemberdayaan masyarakat  dalam membangunkemandirian dan kesejahteraan.
  • Meningkatkan kapasitas dan sumber daya manusia sebagai upayapeningkatan keterampilan yang dibutuhkan.
  • Peningkatan kemampuan akses kontrol pemasaran melaluipengembangan jaringan pemasaran dan penguatan kebijakan pengendalianpemasaran. 

Strategi Program
  1. Mengoptimalkan lembaga keagamaan sebagai agen pengentasankemiskinan, melalui  reintrepretasi dan pemahaman agama yang peka terhadapproblem kemiskinan sebagai problem moral dan kemanusiaan serta melakukanpenguatan kelembagaan.
  2. Menggembalikan social capital (trust, reciprocity, net work relation,solidarity) yang terdapat dalam tradisi sebagai strategi pengentasan kemiskinanyang ada, khususnya dalam melakukan kerjasama guna menolong diri sendiri danmasyarakatnya.
  3. Melakukan revitalisasi lembaga-lembaga sosial yang berakardi pedesaan dan perkampungan kumuh diperkotaan sebagai agent pemberdayaan.
  4. Membangun kemudahan akses ke berbagai sumberdaya informasi,pendanaan, maupun pasar dan penggambil kebijakan bagi keperluan pemberdayaan.
  5. Memposisikan orang miskin sebagai subyek terhadap kemiskinanyang dihadapi, dengan memberi peluang untuk melakukan diagnosa terhadap masalahyang dihadapi; merencanakan tindakan yang akan dilakukan; melaksanakan programyang telah disusun; melakukan evaluasi dan analisa kritis bersama denganpeneliti yang mendampingi.





Leave a Reply

Label