Jumat, 28 Oktober 2011

Agama dan Pluralitas Bangsa

0 komentar

Bagaimana saya dapat menafikan keyakinan orang lain di luar keyakinan saya (Islam) dan begitu saja menganggap itu semua secara teologis sebagai ajaran yang meneysatkan bila pada saat yang sama saya secara jujur mengagumi seseorang seperti Romo Mangunwijayaa, misalnya, yang kebetulan seorang Pendeta Katolik. Sukar bagi saya menganggap bahwa beliau bukan orang shaleh sebab saya mengetahui dengan pasti bahwa selama ini beliau bekerja dan berdoa tidak untuk dirinya sendiri, melainkan dalam rangka mendampingi orang miskin, papa, dan terbuang. Karena itu saya yakin bahwa beliau bukanlah mahluk jahat, juga bukan personifikasi dari ajaran yang menyesatkan. Hal ini merupakan dilema keagamaan berat yang saya alami dalam hidup saya. Hal ini jugalah yang merupakan "tema dialog" saya denga Allah hingga saat ini. Maka, salah satu tema tetap dalam doa saya adalah: Berikanlah selalu rahmat dan pengetahuan untuk memperkuat keyakinan saya akan Islam, ketika saya harus mengadopsi kebijakan kebertuhanan yang Allah tunjukkan kepada saya berupa realitas keragaman agama yang Engkau turunkan kepada manusia. (Muchtar Abbas, lahir di Aceh, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat).
Di kalangan umat beragama pelan-pelan muncul semangat untuk "melongok" keluar sambil berharap barangkali ditemukan cara untuk saling menentramkan, untuk membebaska diri dari kebosanan dalam hidup yang saling curiga. Semangat demikian hampir selalu dikaitkan dengan penegasan bahwa ada persoalan-persoalan yang jauh lebih penting untuk ditangani, dan harus bersama-sama, ketimbang menonjolkan perbedaan yaitu masalah universal, seperti kemiskinan, keterbelakangan dan sebagainya.
Dalam buku ini, yang diangkat dari sebuah seminar tentu masih banyak ucapan romantisme yang nyaris tak melukiskan kenyataan sehari-hari, yaitu keresahan dan kecurigaan antar agama. Namun pasti, ada kemajuan ketimbang forum semacam yang telah ada, bahwa kali ini keterusterangan masing-masing pihak lembih nampak. Bahkan secara blak-blakan terjadi saling serang intern agama di depan kesaksian agama lain.
Yang lebih penting, ada ajakan keterbukaan demikian jagan hanya di permukaan, melainkan diupayakan maju selangkah lagi di mana masing-masing kelompok agama berterus terang tentang segi-segi keberatan yang dirasakan dalam hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. 

Judul : Agama dan Pluralitas Bangsa
Penulis : Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)
Penerbit : Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)
Tahun : Cetakan 2, Juli 1994
Tebal : xvi + 140 halaman

Continue reading →
Kamis, 27 Oktober 2011

Gerakan Anti Korupsi Berbasis Pesantren

0 komentar
Sebuah gerakan yang mencita-citakan terwujudnya pemerintahan lokal yang bersih, adil, transparan, dan berpihak kepada masyarakat terutama yang lemah tanpa diskriminasi. Melalui kantong-kantong gerakan anti korupsi yang dimotori oleh kalangan kyai dan masyarakat di sejumlah daerah, secara reguler akan dilakukan pengawasan terhadap kebijakan publik yang korup dan penyimpangan penyelenggara birokrasi dalam penggunaan kekuasaan dan dana publik.
Tujua dari gerakan ini adalah terwujudnya pemerintahan lokal yang bersih dari KKN dan berpihak kepada masyarakat terutama yang lemah, melalui efektifnya kantong-kantong Gerakan Anti Korupsi yang dimotori kalangan kyai-kyai muda pesnatren. Untuk mencapai tujuan ini serangkaian kegiata dilakukan. Yakni, mulai dari Pelatihan Membaca dan Menganalisa Anggaran, Pelatihan Investigasi, dan Advokasi Kasus-kasus Korupsi Anggaran, Investigasi Data dan Jaring Aspirasi Masyarakat Pra-Paska Bahtsul Masail Korupsi Daerah, Revitalisasi Bahtsul Masail untuk Kontrol Kebijakan Publik, Hearing, Talks Show Interaktif di Radio Daerah dengan topik "Agamawan Melawan Korupsi", Sarasehan Kerjasama Agama-agama untuk Anti Korupsi, Penerbitan buku Panduan GAK Berbasis Pesantren, Workshop Evaluasi dan Pengembangan Program, Memfasilitasi serangkaian FGD dan seminar bersama DPRD dan sejumlah kelompok civil society-seperti akademisi, NGO, dan kelompok perempuan untuk menggagas, serta pengadaan seminar mendorong penanganan secara serius kasus-kasus korupsi anggaran daerah.
Output dari gerakan ini antara lain tersebar pemahaman baru mengenai korupsi sebagai perbuatan dosa dan kejahatan yang bertentangan dengan kepentingan publi (mashalih al-ra'iyyah) pada masyarakat terutama kalangan kyai-kyai muda pesantren.
Gerakan ini dimulai dari kyai-kyai muda pesantren yang memiliki kemampuan menganalisa persoalan korupsi daerah secara kritis dan memadai terutama pada aspek pembacaan anggaran (APBD/PERDA), serta memiliki kemampuan untuk mengadvokasinya.

Lokasi Kegiatan: Di 9 Kota di Jawa, meliputi; Jawa Barat (Cianjur, Ciamis, dan Garut), Jawa Tengah (Brebes, Jepara, dan Pati), dan Jawa Timur (Lamongan, Blitar, dan Sumenep).

Lembaga Terkait: Jaringan P3M, Kyai dan aktivis muda utusan pesantren dari 9 kota di Jawa yang menjadi Community Organizer (CO) Gerakan Anti Korupsi P3M.

Periode Program: 15 Maret 2006-20 Februari 2007

Anggaran: IDR 3,4 Milyar
Continue reading →

Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam

0 komentar
Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam

Konstitusi, sebagai hukum dasar, merupakan kesepakatan umum (konsensus) warga negara mengenai dasar (grundnorm) dan atura dasar (grund gesetze) dalam kehidupan bernegara. Kesepakatan ini utamanya menyangkut landasan penyelenggaraan negara, serta institusi dan prosedur ketatanegaraan. 
Sebagai kesepakatan umum, konstitusi merupakan usaha pencarian titik temu dan rekonsiliasi dari aneka nilai dan kepentingan warga negara. Dalam hal ini, kendati konstitusi mengikat warga negara secara individual, dalam kenyataanya setiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Oleh karena itu, konstitusi suatu negara merefleksikan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat.
Dalam penyusunan konstitusi Indonesia pertama, yang kemudian dikenal dengan Undang-undnag Dasar 1945, para pendiri bangsa memang telah mempelajari bagaimana konstitusi yang ada, seperti konstitusi Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, dan Jepang. Namun demikian, keterbukaan mereka terhadap asupan dari pelbagai konstitusi lain itu tak menyurutkan tekad mereka untuk menyusun konstitusi yang cocok dengan kekhasan tata nilai masyarakat Indonesia sendiri. Dalam usaha ini, nilai-nilai Universal Islam yang telah membumi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sudah barang tentu memberi pengisian yang penting dalam proses perumusan nilai dan aturan dasar konstitusi tersebut.

Judul : Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam
Penulis : Masdar F. Mas'udi
Penerbit : Alvabet bekerjasama dengan LaKIP
Tahun : Cetakan 2, Juli 2011
Tebal : xxv + 202 halaman


Continue reading →
Selasa, 25 Oktober 2011

Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan

0 komentar

Seperti sudah kita bicarakan, secara kodrati perempuan mengemban fungsi reproduksi umat manusia yang utamanya meliputi mengandung, melahirkan, dan menyusui anak. Dalam al-Qur'an fungsi kemanusiaan yang sangat berat ini diapresiasi demikian mendalam dalam sebuah ayat,
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
Kami pesankan sungguh-sungguh kepada umat manusia untuk berbuat baik kepada ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya yang denga susah payah, mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh tahun (QS. Al-Anqaf, 46:16)
Menarik sekali bahwa secara penuh empati pada al-Qur'an menegaskan kepada segenap manusia (al-insan) tentang beban amat berat, beban reproduksi, yang dipikul oleh kaum perempuan, para ibu.
...............
Dan sebagai pengemban fungsi reproduksi perempuan mempunyai hak-hak oleh sang ayah (suami). Ada tiga hak-hak perempuan sebagai pengemban fungsi reproduksi. Pertama, hak jaminan kesehatan dan keselamatan. Hak ini mutlak mengingat resiko yang sangat besar bisa terjadi pada kaum ibu dalam menjalankan fungsi-fungsi reproduksinya, mulai dari menstruasi, berhubungan seks, mengandung, melahirkan dan menyusui.
Kedua, adalah hak jaminan kesejahteraan bukan saja selama proses-proses vital reproduksi (mengandung, melahirkan, dan menyusui) berlangsung, tapi di luar masa-masa itu dalam statusnya sebagai istri dan ibu dari anak-anak.
Ketiga, hak ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perempuan (istri) khususnya yang berkaitan dengan proses-proses reproduksi. Hak kategori ketiga ini kiranya jelas dapat dipahami dari penegasan umum ayat al-Qur'an tentang bagaimana suatu keputusan yang menyangkut pihak-pihak dalam lingkup apapun diambil.

[petikan dari bab iv: islam dan hak-hak reproduksi perempuan, hal. 71]


Judul : Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan
Penulis : Masdar F. Mas'udi
Penerbit : Mizan Bekerjasama dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Ford  Foundation
Tahun : Cetakan I, Januari 1997
Tebal : 224 halaman


Continue reading →
Kamis, 20 Oktober 2011

Pondok Pesantren Al-Muayyad, Surakarta

0 komentar
Pesantren ini dimulai dari pengajian yang diadakan KH. Umar bin Abdul Mannan di rumahnya sejak tahun 1937. Selang beberapa tahun kemudian, sebuah surau berhasil didirikan yang pada tahun 1942 diubah menjadi masjid dengan nama al-Muayyad. Lima tahun sesudah itu, KH Umar yang dikenal sebagai ahli al-Qur'an, berhasil membangu 10 buah kamar pemondokan santri, tiga tahun berikutnya ditambah lagi 5 kamar.
Pada tahun 1955, upaya pendidikan ditingkatkan dengan mengembangkan sistem madrasi, yaitu dengan dibukanya Madrasah Ibtidaiyah. Menyusul Madrasah Tsanawiyah pada tahun 1966 dan Aliyah pada tahun 1976. Meskipun dalam sistem ini, pelajaran disesuaikan dengan kurikulum negeri dan lulusannya diberi ijazah, pelajaran kitab tradisional masih tetap disisipkan.
Kyai Umar wafat pada bulan Agustus 1980 dan kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh Drs. H. Abdul Razak bin H. Ahmad Shofawi, sarjana lulusan IAIN Yogyakarta. Dalam mengelola pesantren ini, ia dibantu oleh sejumlah pengasuh dan guru. Ada tiga orang pengasuh yang secara rutin memberikan pengajian kita setiap selesai shalat wajib. Sementara itu, guru ibtidaiyah 27 orang, dan Aliyah 27 orang guru. Dan masih ada 6 guru khusus menghafal al-Qur'an.
Tahun 1984, jumlah santri mencapai 653 orang yang seluruhnya mukim, 277 putra dan 376 putri. Sebagian mereka murid madrasah yang ada di lingkungan pesantren.Ibtidaiyah tahun ajaran 1984 ini mencatat jumlah murid 427 orang, Aliyah 285 orang, SMP yang baru dirintis beberapa tahun terakhir bermurid 345 orang dan hafidzul Qur'an 46 orang siswa.
Bagi murid madrasah, pelajaran kitab diberikan sesuai dengan tingkatannya. Kitab yang digunakan antara lain sullam, Khoridatul Bahiyah, Husunul Hamidiyah, Akhlak lil Banin, Alfiyah, Arbain Nawawi, Bulughul Maram dan sebagainya.Sedangkan bagi para santri yang mengikuti pengajian di luar sekolah disediakan pengajian kitab tafsir Jalalain, Bulughul Marom, Fathul Wahab, Ajurumiyah, Imriti, Ihya Ulumiddin dan shahih Muslim.
Menempati areal seluas 0.35 ha, pesantren ini merasa kesulitan mengembangka sarana fisik yang lebih besar dan luas untuk melaksanakan rencanannya membangun sistem pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Bangunan yang telah dimilikinya antara lain masjid, 16 lokal belajar, 30 kamar pemondokan santri dan peralatan olah raga.
Pesantren yang lebih dikenal "Pondok Mangkuyudan" ini terletak di jalan KH. Samanhudi nomor 56 Surakarta. Berbagai jenis kendaraan dapat menjangkaunya dengan mudah. 

Perkembangan Al-Muayyad Kini
(Data ini masih perlu pengembangan)



PP Al-Muayyad Mangkuyudan 
Jl. KH. Samanhudi 64 Mangkuyudan Surakarta 57142 
Telp. ( 0271 ) 727138, 714821 Fax ( 0271 ) 714821 HP/SMS : 081 225 82 9292
SMS Center : 0898 999 6464
Continue reading →

Guru Se-Jabar Sepakat Perangi Terorisme

0 komentar
P3M, JAKARTA-Sebanyak 330 guru SMU se-Jawa Barat sepakat bersatu memerangi terorisme dan radikalisme. Kesepakatan itu untuk merespons hasil survei radikalisme nasional yang mencatat Jawa Barat sebagai daerah yang paling tinggi tingkat radikalismenya. Fakta juga menunjukkan banyak pelaku bom bunuh diri yang berasal dari Jawa Barat.
“Dari hasil survei yang dilakukan di 33 provinsi di Indonesia memang terlihat indeks radikalisme yang kedua tertinggi di Provinsi Jawa Barat, yaitu 46,6 setelah Aceh yang di posisi 56,8. Untuk meminimalisasinya, butuh keterlibatan guru sebagai pendidik,” kata Ketua Umum Lazuardi Birru Nugroho Wahyujatmiko dalam keterangan pers, di Jakarta, Rabu (19/10).
Menurut Nugroho, para guru SMU se-Jawa Barat itu berkumpul dalam rangka pelatihan bertema "Komunike Bersama Guru untuk melakukan Perang terhadap Radikalisme dan Terorisme dimulai dari lingkungan Sekolah" yang diadakan selama dua hari, Senin-Selasa (17-18/10). Kegiatan itu merupakan kerja sama LSM Anti Radikalisme dan Terorisme Lazuardi Birru dengan Kementerian Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Jawa Barat dan Pemprov Jabar.
Mantan Ketua Mmantiqi 3 Jamaah Islamiyah Nasir Abas yang menjadi salah satu pemateri pelatihan juga mengatakan, peran guru sangat diperlukan untuk memberi pencerahan kepada anak didik agar tidak terjebak dalam paham dan kegiatan aksi terorisme.
"Peran guru penting untuk mencerdaskan anak bangsa agar tidak terjebak atau terlibat menjadi pelaku aksi kekerasan terutama aksi terorisme yang terkutuk. Masa depan bangsa di tangan para guru," tegasnya.
Lebih lanjut Kapten Jihad ini mengatakan, semua orang pasti mengakui bahwa guru berperan untuk mendidik mengenai realitas kehidupan yang beragam. Mereka harus dibiasakan memahami bahwa apa yang ada di sekelilingnya bagai pelangi. Dalam keberagaman itu hidup harus berjalan secara harmonis, saling menolong, dan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
"Posisi guru memang strategis, karena bisa menanamkan nilai-nilai yang mengedepankan semangat hidup damai di tengah masyarakat yang plural," tambah Kepala Bidang Kerukunan Antarumat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Drs. KH. Slamet Effendi Yusuf.
Hal Senada juga di ungkapkan, ahli psikologi pendidikan Dr. Tjut Rifameutia, M.A. yang menilai meski ada sedikit kendala untuk memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum namun suasana lingkungan sekolah bisa menstimulasi siswa-siswanya untuk berhati-hati terhadap pola pikir menyimpang, dan saling mengasihi, tidak kaku dalam berpikir, serta hidup damai.
"Kalau kita memasukkan semuanya dalam kurikulum tentu terlalu berat, karena ini banyak dikeluhkan para siswa. Tetapi dengan kegiatan ekstrakurikuler itu akan banyak memberikan tambahan-tambahan karakter yang baik bagi siswa. Di antaranya kemampuan berpikir kritis agar siswa-siswa tersebut tidak mengambil informasi begitu saja," ujar perempuan berdarah Aceh ini.
Hadir sebagai pembicara Dr. Amin Haedari MP.d. Direktur Pendidikan Agama Islam dan Sekolah pada Kementerian Agama, Drs. H. Slamet Effendi Yusuf, MS.i. Kepala Bidang Kerukunan Antar Umat beragama MUI, Ahmad Fuadi, jebolan pesantren, pengarang novel best seller “Negeri 5 Menara,” Nasir Abas, eks Amir Mantiqi ke-3 Jamaah Islamiyah, Ibu Hayati Eka Laksmi (Istri Korban Bom Bali 1), serta Pumping yang membawa pesan betapa pentingnya peran guru sebagai agen perubahan sosial dan pembentuk karakter bangsa. (A-78/A-89)***

Continue reading →
Rabu, 05 Oktober 2011

Pesantren Bisa Lebih Berkontribusi

0 komentar
Nashih Nasrullah

JAKARTA - Pesantren memiliki potensi besar membangun akhlak dan masyarakat di sekitarnya. Apalagi, jelas Amin Haedari, ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama, pesantren kini tak lagi ada di pinggiran. Sekarang, pesantren sudah mulai bergerak ke tengah dan diakui dalam sistem pendidikan nasional.

Oleh karena itu, jelas dia, pesantren di Indonesia yang berjumlah 24.604 unit dengan lima juta santri merupakan potensi besar. "Pesantren dapat berkontribusi," katanya dalam keterangannya kepada Republika, Ahad (2/10), saat acara "Halaqah Membangun Karakter Kebangsaaan di Kalangan Pemuda Melalui Pesantren" di Pesantren Kempek, Cirebon, 1-3 Oktober 2011.

Para santri bisa mengisi berbagai lapangan kerja sambil membawa misi perubahan. Pendidikan yang mereka peroleh di pesantren digunakan untuk mendukung langkah itu, misalnya, mengenai disiplin, terus terang, dan rajin. Meski ia pun mengingatkan kalau ada pesantren yang masih belum mencapai kondisi ideal, mestinya mereka mengejar ketertinggalannya.

Amin mengatakan, para santri memungkinkan memberikan teladan mengenai etos kerja. Menurut dia, di Indonesia, sebenarnya tidak ada masyarakat miskin, tetapi ada sebagian masyarakat yang dihinggapi rasa malas. Kalau ada kemauan, pasti semua orang mampu melakukan apa pun. Terbukti ada kelompok yang dalam keadaan terbatas, namun meraih kejayaan.

Keberagaman masyarakat di Indonesia dianggap Amin sebagai peluang bagi pesantren memainkan peran di dalamnya, terutama bagaimana mereka merespons keberagaman itu. Tak sebatas itu, menurut Katib Syuriah PBNU Musthofa Aqil, pesantren dan para kiainya selama ini berhasil menjaga Pancasila dan nasionalisme.

Dia mengatakan, pendidikan, penghayatan, dan pengamalan Pancasila yang menghabiskan triliunan rupiah gagal karena dilakukan oleh kalangan yang tidak tepat. Yang paling berhak bicara soal Pancasila, ujar dia, adalah kiai pesantren. Alasannya, mereka membentuk dan menjaga Pancasila selama bertahun-tahun.

Kurikulum pesantren

Jumat (30/9) lalu, pemerintah mengatakan, sedang mengupayakan standardisasi kurikulum pesantren. Ini bertujuan agar tingkat kompetensi dan penguasaan santri terhadap pelajaran agama terukur. Meski Menteri Agama Suryadharma Ali mengaku proses itu tidak mudah. Sekarang, tinggal merumuskan kurikulum apa saja yang diterapkan.

Ia menuturkan, muncul kecenderungan penurunan penguasaan santri terhadap kitab kuning di sejumlah pesantren. Hal ini diakibatkan berbagai faktor, antara lain, mandeknya kaderisasi di pasantren. Gejala merosotnya kualitas tersebut harus diantisipasi dengan meningkatkan minat santri terhadap kitab kuning.

Sebelumnya, sebuah penelitian oleh Balitbang dan Diklat Kementerian Agama atas 951 pesantren di 15 provinsi menyimpulkan, pengajaran kitab kuning dalam berbagai bidang keilmuan di pesantren tergolong rendah. Fakta itu dilihat dari keterpilihan kitab-kitab oleh kiai, baik secara nasional, per provinsi, maupun dilihat dari karakter masing-masing pesantren. [ed: ferry kisihandi]

Continue reading →

Label