Jumat, 26 Agustus 2011

Menggagas Dakwah Progresif

0 komentar



Muhtadi Ar
Kasus Yusnari Yosra, seorang khotib Jum’at di masjid DPRD DKI Jakarta, dalam khutbahnya sebulan lalu (25/8/2008) menghina Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), dan kemudian oleh jamaah jum’at dipaksa untuk menghentikan khutbahnya, adalah satu di antara ribuan kasus yang akhir-akhir ini sering kita jumpai dalam khutbah jum’at, maupun ceramah-ceramah agama.

Di banyak masjid, baik di wilayah Jakarta dan sekitarnya, maupun dibeberapa kota besar di Indonesia, seringkali kita jumpai khutbah yang isinya hanya menghujat, menyalahkan, menjelek-jelekkan, bahkan menghakimi orang atau kelompok lain sebagai orang dan kelompok yang sesat, murtad, dilaknat, dan segenap cap buruk lainnya.

Keadaan demikian, tentu sangat memprihatinkan. Pertama, mimbar khutbah yang sesungguhnya adalah tempat untuk menyampaikan pesan takwa dan keluhuran ajaran agama, telah berubah fungsi menjadi tempat untuk menggunjing, bahkan memfitnah orang atau kelompok yang berbeda.

Kedua, sebagai sesama muslim kita telah kehilangan etika dan tata krama. Bayangkan, jika di majelis jum’at yang disucikan dan semua orang sedang beribadah, bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah, sang khotib berani mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas, lalu bagaimana jika di tempat-tempat umum.? Padahal jelas disebutkan dalam hadits Nabi, bahwa orang yang beriman hendaknya berbicara dengan baik, sopan dan santun. Dan kalau tidak bisa, lebih baik diam.

Ketiga, dengan isi khutbah semacam itu, secara tidak langsung berarti kita (para jamaah jum’at) telah diarahkan sang khotib untuk menolak keragaman dan menghargai setiap perbedaan. Padahal dalam al-Qur’an jelas disebutkan bahwa, Allah menciptakan isi bumi ini beragam, tidak satu. Ada laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, bersuku-suku (lihat: QS. Al-Hujurat [49]:13).
Model khutbah semacam ini jika terus dikembangkan para khotib tentu tidak sehat. Bukan saja karena bisa menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam dari para jamaah atas informasi yang disampaikan, tetapi juga merusak citra Islam itu sendiri. Di satu sisi, kehadiran Islam yang sesungguhnya ingin menjadi fasilitator dalam pemecahan problem-problem kemanusiaan ‘liyukhrijahum min al dzulumati ila al nur’ (agama itu datang untuk membebaskan manusia dari kegelapan), tidak akan pernah sampai ke masyarakat karena memang tidak pernah disampaikan. Sang khotib lebih suka dengan pembahasan yang berisi tentang ‘orang lain’.

Misalnya, tentang pesan luhur agama akan pentingnya menyelamatkan, membela dan menghidupkan keadilan dalam bentuknya yang paling kongkrit di masyarakat. Pembahasan semacam ini nyaris tidak pernah kita dengar dalam khutbah jum’at. Padahal banyak sekali ayat al-Qur’an dan juga Hadits Nabi yang memerintahkan manusia untuk berbuat adil, menentang kedzaliman dan mengentaskan kemiskinan.

Kemudian juga tentang cara atau metode menyampaikan gagasan. Menurut hemat saya, metode yang dipakai para khotib belakangan ini sangat jauh dari akhlak Islam yang santun dan sangat menghargai keragaman. Dalam Al-Qur’an misalnya disebutkan, dakwah hendaknya disampaikan dengan perkataan-perkataan yang bijak serta pelajaran yang baik (lihat: QS. An-Nahl [16]: 125). Tetapi apa yang kita dapati di mimbar-mimbar jum’at, seringkali khotib itu menyampaikan khutbahnya dengan nada tinggi dan emosi yang meledak-ledak. Menjelek-jelekkan orang, dan menganggap yang lain, yang tidak seide sebagai musuh yang harus dijauhi dan diperangi.
Menghadapi kenyataan demikian, lalu apa yang mesti kita lakukan.? Setidaknya ada dua hal. Pertama, kita harus menyeru dan kembali pada fungsi dan tujuan dari disyariatkannya ibadah shalat jum’at itu sendiri. Dalam kitab Al Fiqh ‘Ala Madzahib al Arba’ah karya Abdurrahman Al Jazyri misalnya disebutkan, tujuan dari shalat jum’at adalah agar sesama umat muslim bisa saling bertemu dalam satu tempat, sehingga masing-masing jamaah bisa saling mengetahui kondisinya, yang kaya bisa berderma kepada yang miskin, yang besar bisa mengasihi kepada yang kecil, dan sadar bahwa semua adalah hamba Allah. (lihat: Juz I hlm. 331).

Dengan kembali kepada tujuan ini, kita berharap isi khutbah jum’at akan jauh lebih santun dan menyejukkan hati. Khutbah tidak lagi menggunjing orang lain, tetapi lebih fokus pada usaha menyampaikan pesan luhur agama, sehingga akhirnya bisa tercipta kasih sayang diantara sesama jamaah jum’at, sesama umat muslim yang berjum’atan di tempat lain, dan utamanya kepada seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini.

Kedua, meningkatkan tabayyun (klarifikasi) diantara sesama umat muslim. Saya percaya, bahwa semua yang dipercaya menjadi khotib jum’at adalah orang-orang terpilih. Mereka tidak saja tokoh dilingkungannya masing-masing, tetapi juga adalah orang-orang yang cakap pengetahuan agamanya, dan bisa menjadi suri tauladan. Dengan melakukan kajian mendalam dan tabayyun terlebih dahulu terhadap suatu masalah yang akan disampaikan kepada jamaah, niscaya jamaah juga akan mendapati informasi valid, yang sifatnya tidak menggunjing orang lain, terlebih memfitnah.

Dalam al-Qur’an misalnya disebutkan, “janganlah diantara kamu sekalian menggunjing sebagian yang lain” (lihat: QS. Al-Hujurat [49]: 12). Artinya, dengan isi khutbah yang ‘membicarakan’ orang lain, maka jika benar isi pembicaraan itu disebut sebagai perbuatan menggunjing, dan jika isinya tidak benar disebut sebagai fitnah. Baik menggunjing maupun memfitnah, keduanya sama-sama dilarang dalam agama.

Karenanyalah, kita perlu menggagas pentingnya sebuah konsep dakwah yang membebaskan dan mencerahkan masyarakat. Ini penting karena pesan luhur agama itu hanya bisa diterima dan dicerna masyarakat dengan baik jika sang juru dakwah mampu menerjemahkan pesan agama itu dengan baik pula. Tanpa adanya penerjemahan melalui penalaran akal budi yang baik, maka agama juga hanya akan dijalankan secara letterlijk, kaku, keras, menakutkan bagi yang lain, dan tidak mampu memberikan efek positif bagi pengikutnya, karena memang disampaikan seperti itu.

Dakwah semacam ini akan semakin menemukan relevansinya setidaknya karena dua hal. Pertama, dakwah yang selama ini ada, banyak dilakukan secara agresif, bahkan sangat agresif. Padahal Allah sendiri telah memperingatkan Nabi Muhammad saw. agar tidak melakukan dakwah model ini. Disebutkan: Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan (QS. Hud [11]:12); Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang buta agama (ummi): ‘Maukah kalian masuk Islam’. Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan. (QS. Al-Imron [3]:20).

Kedua, model dakwah sekarang ini menurut saya terlalu keras dan tidak menukik pada substansi ajaran agama, wajah Islam sebagai penyelamat, pembela dan penghidup keadilan itu, seringkali justru berbenturan dengan kenyataan empirik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran Islam bukannya memecahkan berbagai problem, tetapi justru menjadi problem itu sendiri.

Dalam banyak kesempatan, agama bahkan hanya didakwahkan dan kemudian dipahami dalam bentuknya yang paling luar, sebagai ritual rutin yang jangkauannya hanya terbatas pada wilayah-wilayah privat dan spiritual belaka. Padahal, praktek keagamaan seperti inilah yang sesungguhnya telah menyebabkan Islam dalam berabad-abad lamanya kehilangan spirit religiusnya yang murni, yakni spirit keadilan yang menghubungkan antara keluhuran ajaran dengan kemuliaan praktik-praktik kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.

Hilangnya spirit keadilan ini pulalah yang menyebabkan umat Islam seringkali kesulitan menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh), karena yang sering terjadi justru praktik-praktik kehidupan beragama yang parsial dan terkotak-kotak. Dan inilah pentingnya kita menggagas dakwah yang progresif. Dakwah yang tidak hanya membicarakan perbuatan orang lain, tetapi dakwah yang mampu memberi spirit umat muslim untuk menjadi muslim yang unggul, berkualitas dan kaffah. Wallahu a’lam. []

Oleh: Muhtadin AR (Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat)
Continue reading →

Draft Image 26 Agustus 2011

0 komentar






sasasasasa







Continue reading →
Sabtu, 20 Agustus 2011

Pesantren dan Pendidikan Karakter

0 komentar



AntaraNews
Pendidikan modern dewasa ini telah dihadapkan pada dilema pendidikan yang amat substansial, yaitu pendidikan hanya menitikberatkan kepada transmisi sains dan mengabaikan pendidikan karakter. Padahal, pendidikan sains yang tidak disertai pembinaan karakter akan membawa proses dehumanisasi yang bagi pembangunan nasional dapat menyebabkan lemahnya dan bahkan hilangnya nilai-nilai patriotisme: cinta Tanah Air, disiplin nasional, rasa kebanggan nasional, dan rasa tanggung jawab nasional. Oleh sebab itu, para orangtua anak didik banyak memilih pesantren sebagai alternatif untuk mewujudkan impian mereka, yakni memiliki anak yang melek sains, berakhlak, dan berkarakter.
Pendidikan karakter  adalah sebuah proses penanaman nilai esensial pada diri anak melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai yang menjadi core values dalam pendidikan yang dijalaninya ke dalam kepribadiannya. Selain itu, pendidikan karakter juga sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Adapun nilai yang layak ditanamkan kepada anak terdapat sembilan pilar karakter, yaitu: cinta Allah dan segenap ciptaan-Nya; kemandirian dan tanggug jawab; kejujuran, amanah dan bijaksana; hormat dan santun; dermawan, suka menolong dan gotong royong; percaya diri, kreatif dan pekerja keras; kepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah hati; toleransi dan kedamaian; serta kesatuan (Ratna Megawangi, 2004).
Bahkan lebih dari itu, menurut Khoesoema (2007), pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual peserta didik sehingga menjadi personal yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial. Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit sosial.
Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi sebuah proses perbaikan dalam masyarakat. Namun demikian, pendidikan karakter yang harus menjadi penopang pendidikan sains tidak cukup dengan hanya mentransmisikan nilai-nilai di atas, tetapi memerlukan suatu proses pendidikan yang menekankan pada tiga komponen karakter yang baik, yakni moral knowing, moral feeling, dan moral action (Lickona dalam Megawangi, 2004). Dan juga memerlukan proses pendidikan yang mencakup penghayatan, pelatihan, dan pembiasaan.
Proses pendidikan seperti itu tidak dapat mudah dilaksanakan. Ia hanya dapat dilaksanakan dalam sistem pendidikan kampus terpadu yang mengarah pada pembinaan kepribadian seutuhnya. Proses pendidikan terpadu demikian ini yang sudah lama dilaksanakan oleh lembaga pendidikan pesantren. Lebih dari itu, sistem pendidikan pesantren mampu melaksanakan pendidikan karakter yang berakar kepada keyakinan hidup dan keagamaan yang tidak akan tergoyahkan oleh arus perubahan nilai-nilai sosial budaya yang dihembuskan oleh era globalisasi.
Sesuai dengan wataknya, pesantren memiliki ciri khas tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Salah satu ciri khas pesantren adalah pengajaran kitab-kitab kuning, kitab-kitab Islam klasik yang ditulis dalam bahasa Arab, baik ditulis oleh ulama-ulama Arab maupun ulama-ulama Indonesia sendiri (Abdurrahman wahid, 2001).
Karena tradisi tersebut, banyak kalangan yang mengakui bahwa tradisi pengajaran di pesantren merupakan tradisi agung yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia yang dikenal dengan "tradisi pesantren". Pentransmisian ajaran Islam tradisional yang tertuang dalam kitab-kitab klasik (kitab kuning) itulah yang menjadi ciri khas tradisionalisme sistem pendidikan di pesantren.
Walaupun bersifat tradisional, pesantren telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah, dan pusat pengembangan ilmu di Indonesia. Ia merupakan agen pemberdayaan masyarakat bermoral dan beretika yang mampu menggembleng para santri dalam menimba ilmu agama dan menanamkan budi pekerti.
Selain bentuk pengajarannya yang tradisional, pesantren juga mempunyai pola kehidupan yang unik. Karena dari kehidupan lahiriahnya, pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah kediaman pengasuh/kiai, sebuah surau atau masjid, tempat pengajaran diberikan, dan asrama tempat tinggal para santri.
Pendidikan karakter di pesantren dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan dikarenakan pendidikan pesantren mampu melaksanakan tahapan tiga component of good character dengan baik. Pertama, tahapan moral knowing disampaikan dalam dimensi masjid dan dimensi komunitas oleh kiai/ustad. Kedua, moral feeling dikembangkan melalui pengalaman langsung para santri dalam konteks sosial dan personalnya. Aspek emosi yang ditekankan untuk dirasakan para santri meliputi sembilan pilar pendidikan karakter, khususnya pilar rasa cinta Allah dan segenap ciptaan-Nya.
Ketiga, moral action meliputi setiap upaya pesantren dalam rangka menjadikan pilar pendidikan karakter rasa cinta Allah dan segenap ciptaa-Nya diwujudkan menjadi tindakan nyata. Hal tersebut diwujudkan melalui serangkaian program pembiasaan melakukan perbuatan yang bernilai baik menurut parameter agama di lingkungan pesantren. 
Dalam mewujudkan moral action, pesantren memerhatikan tiga aspek lainnya terkait dengan upaya perwujudan materi pendidikan karakter pada diri santri, yang meliputi kompetensi, keinginan, dan kebiasaan. Pembentukan ketiga aspek tersebut diupayakan oleh kiai/ustad secara terpadu dan konsisten yang pada akhirnya diharapkan melahirkan moral action yang secara spontan dilakukan anak, baik di lingkungan pesantren, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat.

Oleh: Sarmidi Husna
Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat


Dimuat di Opini Republika dan Republika Online, 15 Juli 2011
Continue reading →
Jumat, 19 Agustus 2011

Pesantren Sunan Pandanaran Ngaglik Sleman

3 komentar
Pondok Pesantren Sunan PandanAran (PPSPA). Kemajuan Pesantren Sunan Pandanaran di awal bedirinya, paling tidak 9 tahun setelah diresmikan oleh Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Paku Alam VIII, bisa dibilang pesat. Perkembangannya telah mengukuhkan pesantren ini sebagai salah satu pesantren ternama di DIY, di samping Pesantren al-Munawwir, Krapyak. 

Ada tali sejarah yang menghubungkan Pesantren Sunan Pandanaran dengan pesantren al-Munawwir, Krapyak. KH. Mufid Mas'ud, pendiri dan pengasuh pesantren ini, semula adalah pengasuh Pondok Puteri al-Munawwir, Krapyak. Pada bulan Oktober 1975, kyai kelahiran Tembayat, Klaten, Jawa Tengah ini hijrah sekeluarga dari Krapyak ke desa Candi, Sleman. Menempati tanah wakaf dari H. Masduqi Abdullah seluas 2000 m2, yang terletak sekitar 200 meter sebelah barat jalan raya Yogya-Kaliurang Km.12, kepindahan KH. Mufid juga disertai seorang santri kesayangannya, Wasil dari Bantul.

Di desa sejuk di lereng gunung Merapi inilah Kyai Mufid mendirikan pesantren, dengan model pertama sebuah masjid dan rumah sederhana yang berdiri di tanah wakaf tersebut. Nama Sunan Pandanaran dipilih untuk nama pesantren ini, demi menghargai jasa-jasa leluhur Kyai Mufid, Sunan Pandanaran (Sunan Tembayat) dalam menyebarkan ajaran Islam di Tembayat, Klaten.

Sarana fisik pesantren meliputi sebuah masjid, gedung-gedung sekolah/madrasah sejak dari Taman Kanak-kanak, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah, asrama santri, kamar mandi/wc, dapur umum, gedung serba guna, ruang tamu, kolam wudlu dan perpustakaan. Seluruh bangunan fisik berjumlah 15 buah meliputi 42 lokal, dengan luas sekitar 1.200 m2. Jumlah ini belum termasuk rumah pengasuh dan rumah keluarga kyai. Tanah pesantren yang semula hanya 2000 m2 (tanah wakaf), kini (tahun 1986, ed) bertambah menjadi 2.400 m2.

Pada awal berdirinya, pesantren ini dimaksudkan sebagai sarana dakwah. Kemudian dalam perkembangan pesantren ini lebih dikenal sebagai pusat Tahfidzul Qur'an (menghafal al-Qur'an), karena pengasuhnya, Kyai Mufid, dikenal sebagai ahli dan pengasuh pesantren Tahfidzul Qur'an di Krapyak.  

Sekitar 75 persen (tahun 1986, ed) santri Pesantren Pandanaran adalah putri (260 orang) dan selebihnya santri putra (70 orang). Mereka seluruhnya mukim berasal dari daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Santri kalong, pada bulan Ramadhan jumlahnya biasanya sangat banyak. 

Selain memprioritaskan pengajaran hafalan al-Qur;an, pesantren memberikan pengajaran ilmu-ilmu agama dan pengetahuan umum.Pondok Pesantren Sunan PandanAran (PPSPA) selain mendidik santrinya untuk belajar agama Islam, tapi juga menyediakan pendidikan formal berupa Raudhatul Athfal (RA)  Sunan PandanAran (Setingkat TK) , Madrasah Ibtidaiyah (MI) Sunan PandanAran (Setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (MTs) Sunan PandanAran (Setingkat SMP), Madrasah Aliyah (MA) Sunan Pandan Aran (setingkat SMA), dan Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandan Aran (STAISPA). . Selain itu ada Qismut Tahfidz, Khusus menghafal al-Qur'an dan Qismuth Takhasush, khusus mengaji kitab. Sementara Qismut Tahfidz dan Qismut Takhashush lebih ditekankan kepada pengajaran kitab-kitab mu'tabar seperti Ihya Ulumiddin, Shahih Bukhori-Muslim, Tafsir Jalalain, dan lain-lain. 

Pada seluruh jenjang pendidikan yanga da, kecuali Qismut Takhasush, dikeluarkan ijazah/sertifikat. Ini dimaksudkan untuk membantu mereka melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan khusus untuk santri Tahfidzul Qur'an setiap tahun diadakan acara imtihan (wisuda) bagi mereka yang sudah berpredikat hafidz-hafidzah.

Di luar jam-jam pelajaean formal dan menghafal al-Qur'an, santri mengikuti kegiatan-kegiatan non formal seperti menjahit, berorganisasi, merias penganten, latihan khitobah (pidato), serta berbagai praktek PKK. Dalam hal ini masih dirasakan kesulitan memperoleh instruktu (pelatih) ketrampilan.

Para santri juga menyelenggarakan forum pemecahan persoalan agama dari, oleh, dan untuk santri. Forum ini diberi nama "Majelis Syuro" (forum musyawarah) dan hasilnya dibukukan. 

Untuk mengasuh pesantren ini, KH. Mufidz dibantu menantunya, Masykur Muhammad dan Ninik Afifah (putrinya), sejumlah ustadz /guru serta mahasiswa yang bermukim di pesantren. 

Pendidikan

1. Tahfidz Al-Qur’an 
Program ini bertujuan mencetak para penghafal dan pengamal al-Qur’an. Selain itu program ini juga memfasilitasi santri agar menguasai Ulumul Qur’an (tajwid, tafsir dll) sebagai penunjangnya. Masa tempuh studi ini bervariasi, rata-rata dua sampai tiga tahun atau lebih. Sangat bergantung pada tingkat kecerdasan dan tingkat kerajinan seorang santri. Pengasuh menerapkan dua pola pendekatan belajar, yakni pendekatan personal dan pendekatan sistem. Pendekatan personal ialah tawajjuh-an antara santri dengan pengasuh saat menyetorkan hafalan, seminggu sekali sebanyak satu juz per santri sesuai dengan jadwal yang telah disusun. Sementara pendekatan sistem meliputi tiga aspek. Pertama, sistem badal: sistem ini dimaksudkan untuk memberikan bimbingan kepada santri dalam membuat hafalan (loh-lohan) setiap ba’da maghrib dan ba’da subuh, berikut bimbingan untuk menguasai ilmu tajwid. Kedua, sistem presensi atau keaktifan santri dalam setiap kegiatan. Ketiga, sistem evaluasi berkala (imtihan) yang dilaksanakan setiap santri mencapai lima juz, berikut setiap kelipatannya sampai dengan juz 30. Selain itu, ada jam wajib deresan tiap pagi dan sore di bawah pantauan dari pengasuh dan badal.

Bagi santri yang masuk pada program tahfidz-al Qur’an dari nol atau belum mampu membaca al-Qur’an serta belum menguasai ilmu-ilmu penunjangnya, maka ia akan dimasukkan kedalam kelas Madrasah Diniyah Takhosus al-Qur’an terlebih dahulu. Dalam kelas matrikulasi ini, untuk tahap awal santri dibimbing agar mampu membaca al-Qur’an, selanjutnya dibimbing untuk menghafalkan juz amma (juz 30). Pada tahun berikutnya mereka dibimbing untuk membaca al-Qur’an sampai khatam 30 juz bin-nadzri. Setelah tahapan itu semua selesai baru mereka dibimbing menghafalkan al-Qur’an 30 juz. Selain materi pokok tersebut, mereka juga diberi pelajaran ilmu-ilmu penunjangnya seperti tajwid, bahasa Arab dasar (Nahwu-Shorof), Fiqh dasar (kitab Fathul Qorib), akidah (‘Aqidatul Awam), adab-adab penghafal al-Qur’an (kitab al-Tibyan fii adabi hamalati al-Qur’an, dll.

2. Taman Kanak-Kanak
TK/RA Sunan Pandanaran merupakan lembaga formal pertama yang dimilki oleh PPSPA setelah huffadz dan madrasah diniyah al-Qur’an. Misi lembaga ini adalah ingin membangun generasi bangsa yang berkarakter islami, cerdas, trampil, percaya diri serta berguna bagi nusa dan bangsa sejak usia dini. Siswa yang sekarang tercatat di TK ini sebanyak 152 anak. Banyaknya siswa yang belajar di lembaga ini menunjukkan bahwa ia telah mendapat  kepercayaan yang besar dari masyarakat karena kualitasnya.

tahun 2004 TK Sunan Pandanaran masuk lima besar lomba drum band tingkat propinsi DIY, tahun 2005 meraih peringkat satu lomba mewarnai untuk tingkat nasional, menjadi TK percontohan Kabupaten Sleman, dan selama tujuh tahun berturut-turut dipercaya menjadi penyelenggara manasik haji TK se kecamatan Ngaglik.

3. Madrasah Ibtidaiyah
MISPA diresmikan dan mulai beroperasi sejak tahun 2006. Sampai sekarang telah memasuki tahun kedua. Target yang hendak dicapai MISPA adalah mempersiapkan kader-kader Qur’ani sejak kecil.

MISPA dalam keseharinya menerapkan tiga kurikulum; pertama kurikulum Depag (pembelajaran mata pelajaran wajib nasional seperti Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dll). Kedua, kurikulum Muatan lokal, penekanan dari kurikulum kedua ini adalah upaya memperdalam ilmu-ilmu agama a la pesantren (teori dan praktik ibadah).

Pelajaran al-Qur’an dimulai dari Tahsin, Tartil sampai pada Tahfidz Al-Qur’an (juz ‘amma). Terakhir berupa kurikulum alam. Tujuan dari konsep ketiga ini ialah agar anak bisa mengenal dan menyayangi  lingkungan alam sekitar sejak kecil. Salah satu caranya adalah siswa diajak praktik untuk merawat, menyiram, menata tanaman setiap pagi di laboratorium alam yang MISPA miliki. Kegiatan ekstrakurikuler yang ada meliputi Sains Club, olahraga, outbound, English Club dll.

4. Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Madrasah Tsanawiyah Sunan Pandanaran, merupakan madrasah setingkat dengan SLTP. Madrasah ini menjadi sebuah pilihan bagi santri untuk mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan formal. MTs Sunan Pandanaran memuat kurikulum Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional dan Muatan lokal dari pesantren (kitab kuning dan pengkajian alquran).  Visi madrasah adalah Mandiri, Berprestasi, Cerdas dan berkepribadian Qur’ani  (Mata Cendeqia), mempunyai 5 Misi dan 13 tujuan yang tertuang dalam visi dan Misi Madrasah.

Dalam pencapaian program jangka panjang madrasah menuju sekolah bertaraf International dan berpegang ajaran ahlusunah wal jamaa’ah, Madrasah sedang merintis penggunaan bahasa asing di kelas, yang telah dirintis pada siswa kelas VII tahun ajaran 2007/2008, dengan harapan penggunaan bahasa asing dalam proses belajar mengajar akan efektif pada 3 tahun ke depan, dan selanjutnya menerapkan kurikulum yang bertaraf Internasional.

Program madrasah dilakukan dengan tetap memperhatikan segi psikologis siswa, sehingga pembelajaran dilakukan sesuai dengan kemampuan dari masing-masing siswa. Lulusan dari MTs Sunan Pandanaran diharapkan dapat memiliki wawasan global,  mampu berbahasa asing, berprestasi, dan mememiliki jiwa kepesantrenan.

5. Madrasah Aliyah (MASPA) 
Sejak lahirnya MASPA mengemban misi mencetak generasi Islami yang mandiri dalam segala bidang, memiliki kualitas IMTAK dan IPTEK yang seimbang serta memiliki wawasan global yang luas. Karakter ideal yang ingin dibangun MASPA bagi Lulusannya ialah santri yang memiliki kesalehan pribadi, kesalehan sosial dan kesalehan alam. Alumni MASPA banyak yang telah mampu meneruskan pendidikan ke Perguruan Tinggi favorit baik dalam negeri maupun luar negeri.

Ada tiga konsentrasi studi yang ada di MASPA; Ilmu Pengetahuan Alam (Jur. IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (Jur.IPS), dan Keagamaan (Jur. Keagamaan). Sebagi perpanjangan tangan sistem pendidikan pesantren, semua siswa MASPA juga diharuskan mengikuti madrasah diniyyah yang diselenggarakan pondok.

Pada tahun 1999 MASPA  mendapat status Disamakan. Sedang pada tanggal 24 Desember 2005 lampau, MASPA telah terakreditasi A berdasarkan SK NOMOR A/KW.12/MA/02/06.

6. Pesantren Mahasiswa dan Mahasiswi 
Menurut data statistik, pada tahun 2003 di Yogyakarta terdapat 6 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 105 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan rincian 46 akademi, 31 sekolah tinggi, 18 universitas, 6 politeknik dan 4 institut. Jumlah calon mahasiswa yang mendaftar pada tahun tersebut mencapai 105.165 orang . Sebagai konsekuensi dari kota pendidikan, PPSPA pun dituntut untuk mengakomodasi keinginan orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke Yogyakarta sambil tetap tinggal di pesantren guna memperdalam ilmu agama.

Pesantren Mahasiswa/i PPSPA memberikan jawaban untuk itu. Lokasi PPSPA yang kebetulan berada relatif dekat dengan berbagai PT yang ada sangat mendukung perealisasian keinginan orang tua yang menginginkan anaknya kuliah sambil tetap belajar agama di pesantren. Secara umum kegiatan yang berlangsung di asrama mahasiswa ini tidak banyak berbeda dengan asrama-asrama lain. Tentunya ada sedikit kelonggaran yang diberikan pihak pengelola, ini mengingat kegiatan mahasiswa di kampus relatif padat.

7. Pesantren Mandiri 
Wujud kepedulian PPSPA atas keberadaan sebagian masyarakat yang kurang mampu diwujudkan melalui program pesantren mandiri (santri mandiri). Pesantren ini dikususkan untuk santri yang berasal dari golongan kurang mampu dengan mengabdi di PPSPA. Selain mendapatkan pendidikan di pesantren, sebagian dari santri mandiri juga memperoleh pendidikan formal di madrasah. Biaya pendidikan dan biaya hidup semuanya menjadi tanggungan pesantren.  

Kontak
Pesantren Sunan Pandanaran Ngaglik Sleman
Pendiri               : KH. Mufidz Mas'ud
Pemimpin           : H. Mu'tashim Billah, M.Pdi
Alamat               : Jl.Kaliurang km 12.5 Sardonoharjo Ngaglik Sleman DIY 55582
Santri                 : 371 putera dan 443 puteri (2006-2007)
Telp                   :  0274-884438

Pengurus Pondok
Ust. Zahron (081327465029)
Ust. Saiful Ghozi (085228569920)
Imas Masri’ah, S.H.I (085292886044)

MTs SPA
Hj. Fany Rifqoh S.Pd (081392168910)
Rustiyadi, S.Ag (081392550799)

MA SPA
Ahmad Faizun, S.Ag (08578747482)
Purwoto (081392697977)
Continue reading →
Kamis, 18 Agustus 2011

Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Panggungharjo, Bantul

0 komentar
Terletak di Selatan Kota Yogyakarta, sekitar 5 Km dari pusat kota di jalur menuju pantai wisata Parangtritis, Pesantren al-Munawwir dipimpin oleh K.H. Ali Ma’shum Rois Aam PB Syuriah Nahdlatul Ulama (1983).
Nama al-Munawwir yang diabadikan sebagai nama pesantren, berasal dari nama cikal bakal/pendiri pesantren, K.H M. Munawwir.

Pada tahun 1911, sepulang dari belajardi Mekkah selama 21 tahun, KH. Munawir yang tinggal di kampung Kauman, Yogyakarta (di belakang Masjid Agung alun-alun Yogyakarta) membuka pengajian di rumahnya. Kian hari santri terus bertambah, dan rumah Kyai tak mampu lagi menampung. Maka dipindahkanlah tempat pengajian itu ke desa Krapyak Kulon. Beberapa bangunan pondok yang dibangun di tempat baru inilah yang kemudian dikenal sebagai kompleks Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak.

Pada awal berdirinya, pesantren ini menekankan pengajaran al-Qur’an, baik secara binnadhar degan membaca langsung, bilghoib, hafalan. Kemudian dari pelajaran bilghoib ini dilanjutkan dengan pelajaran qiraat sab’ah, tujuh macam bacaan al-Qur’an. Melengkapi pelajaran al-Qur’an, diberikan pula pelajaran berbagai kitab fiqh, tafsir, dan kitab-kitab agama lainnya. Setelah KH. Munawwir wafat (1942), kepemimpinan pesantren dipegang tiga orang, masing-masing KH. Abdullah Affandi, KH. Abdul Qadir (keduanya putra KH. Munawir) dan KH. Ali Ma’shum (menantu KH. Munawwir, putera KH. Ma’shum Lasem).

Tiga serangkai inilah yang kemudian mengembangkan pesantren al-Munawwir Krapyak dengan pembagian tugas: KH. Abdullah Affandi sebagai ketua Umum, KH. Abdul Qadir penanggung jawab pengajian al-Qur’an dan KH. Ali Ma’shum penanggung jawab pengajian kitab-kitab.

Masa kepemimpinan tiga serangkai ini bertepatan dengan pecahnya perang revolusi fisik untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Sejumlah santri bergabung dalam laskar-laskar perjuangan mempertahakan kemerdekaan.

Kini (1986, ed.) tinggal KH. Ali Ma'sum yang memimpin pesantren Krapyak. KH. Abdullah Affandi dan KH. Abdul Qadir telah meninggal dunia. Untuk tugas mengasuh pesantren sehari-hari, KH. Ali Ma'shum dibantu antara lain oleh KH. Warson Munawwir, KH. Dahlar Munawwir, K. Najib Abdul Qadir, KH. Zainal Abidin Munawwir, KH. Ahmad Munawwir, KH. Zaini Munawwir, ditambah sekitar 25 ustadz.

Jumlah santrinya sekitar 700 orang, (1986, ed.) berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan beberapa di antaranya dari luar negeri. Jumlah ini belum termasuk santri puteri, sekitar 75 orang yang menempati pondok Barat, sekitar 500 m seberang pesantren putera. Para santri yang ada di pesantren Al-Munawwir bisa digolongkan menjadi tiga. Pertama, santri biasa. yakni selain belajar mengaji juga belajar di madrasah Tsanawiyah atau Aliyah di lingkungan pesantren. Kedua, santri takhasus, yakni khusus mengaji dan menghafal al-Qur'an. Ketiga, santri yang tinggal dan mengaji di pondok sambil belajar di berbagai sekolah atau Perguruan Tinggi luar lingkungan pesantren. Santri puteri umumnya adalah menghafal al-Qur'an.

Semua santri selain diwajibkan mengikuti kegiatan pengajian yang diadakan oleh pesantren menurut tingkatannya juga diharuskan mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan ketrampilan. Pengajian diberikan dalam bentuk sorogan, bandungan, wetonan, muhadloroh/pembahasan kitab, dan lain-lain. Pelajaran ekstra dan ketrampilan yang diberikan antara lain latihan berorganisasi dan kepemimpinan, khitobah (latihan berpidato), praktek ibadah, memimpin tahlil, seni baca al-Qur'an, olah raga, bakti masyarakat dan kecakapan berbahasa Arab.

Kegiatan bakti masyarakat umumnya dilakukan oleh santri senior yang tergabung dalam Korp Dakwah Mahasiswa (KODAMA). Setiap Kamis malam mereka memberikan penyuluhan dan bimbingan agama kepada masyarakat di sekitar Yogyakarta, yang mempunyai sekitar 40 kelompok pengajian.

Beberapa perkembangan yang bisa dicatat antara lain: tahun 1984 mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, tahun 1951 mendirikan madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Haffadz (madrasah menghafal al-Qur'an). Saat ini kegiatan pendidikan di pesantren ini meliputi Taman Kanak-kanak, Madrasah Diniyah Tsanawiyah, Aliyah, Madrasatul Banat, Madrasatul Huffadz, pengajian khusus Bahasa Arab dan syariah, pengajian kitab dan sebagainya. Pelajaran di madrasah-madrasah dikenal adanya ijazah, namun bagi santri takhasus itu tidak ada.
Beberapa sarana fisik yang terdapat di kompleks pesantren yang luasnya sekitar 3 hektar ini antara lain: gedung-gedung sekolah, masjid, bangunan asrama/pondok, perumahan ustadz, dapur, dua lapangan bulutangkis, lapangan voly, lapangan sepak bola, tenis meja dan lain-lain.

Juga terdapat perpustakaan yang hampir semua buku/kitab yang ada berbahasa Arab. Untuk melayani kebutuhan para santri sudah ada toko pesantren.

Biaya kehidupan pesantren diperoleh dari kekayaan Kyai, harta waqaf serta sumbangan santri dan para donatur sukarela.

Pesantren al-Munawwir merupakan pesantren terbesar di DIY. Ratusan santri yang pernah belajar di sini kini tersebar di berbagai daerah di berbagai daerah, baik pemerintah maupun luar pemerintah. KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur), pemimpin dan tokoh intelektual NU, juga pernah belajar di pesantren ini.

Kontak
Pesantren al-Munawwir, Krapyak, Panggungharjo, Bantul
Pendiri           : KH. Munawwir
Pemimpin       : KH. Zainal Abidin Munawwir
Santri             : 750 Putra dan 900 Putri (2006-2007)
Alamat           : Tromol Pos No. 5 Krapyak Panggungharjo Bantul 5550255002 
Telp               : (0274) 383768 
Faxs               : (0274) 384095
Continue reading →

22.745 Keluarga di Belu juga Terancam Kelaparan

0 komentar



Pos Kupang
P3M, ATAMBUA - Sebanyak 22.745 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 65 desa di 16 kecamatan di Belu terancam rawan pangan. Ancaman rawan pangan ini menyusul bencana alam yang melanda sebagian besar wilayah Belu pada awal tahun 2011 lalu sehingga warga terancam gagal tanam.
Kecamatan yang warganya terancam itu, yakni Kecamatan Rinhat, Lasiolat, Malaka Tengah, Lamaknen, Io Kufeu, Lamaknen Selatan, Tasifeto Timur, Malaka Barat, Kakulukmesak, Kobalima Timur, Tasifeto Barat, Botin Leobele, Nanaet Duabesi, Weliman, Raimanuk dan Wewiku.
Menyikapi kondisi ini, Pemerintah Kabupaten Belu melalui Badan Ketahanan Pangan setempat berencana mengundang para camat dan kepala desa yang terancam rawan pangan untuk berdiskusi bersama mencari pola intervensi penanganan pada tanggal 24 Agustus 2011.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Belu, Vinsensius Loy, menyampaikan hal ini ketika ditemui Pos Kupang di ruang kerjanya, Kamis (18/8/2011). Vinsen mengakui, bencana alam yang terjadi pada awal tahun 2011 lalu menyebabkan warga mengalami gagal tanam. Lahan termasuk tanaman milik petani, diakuinya, rusak akibat tingginya curah hujan dan terjangan angin puting beliung.
Dari hasil pendataan tenaga  PPL di lapangan, lanjutnya, dari total 24 kecamatan di Belu, sebanyak 16 kecamatan mengalami kondisi rawan dan waspada. Dari data yang ada menunjukkan, total keluarga yang terancam rawan pangan sebanyak 22.745 KK, tersebar di 65 desa.
"Ini data riil yang kita ambil langsung di lapangan. Tenaga PPL mendata langsung di desa-desa dan diteruskan ke desa, camat lalu ke kabupaten. Terkait ancaman rawan pangan itu, ada empat klasifikasi, yakni sangat rawan, rawan, waspada dan aman. Untuk 65 desa itu baru masuk pada klasifikasi rawan dan waspada," jelasnya.
Untuk mengatasi kondisi ini ke klasifikasi sangat rawan, jelas Vinsen, pihaknya sudah mengagendakan untuk mengundang para camat dan kepala desa untuk berdiskusi bersama mencarikan alternatif pemecahannya. Hasil rekomendasi yang dibicarakan nanti disampaikan ke Dinas Sosial, Tenaga kerja dan Transmigrasi untuk intervensi program penanganan lanjutan.
"Untuk saat ini petani masih melakukan kegiatan persiapan lahan. Untuk wilayah utara kita berharap sekitar November baru tanam, sementara untuk selatan Belu diharapkan Desember atau awal Januari 2012 baru bisa tanam. Karena situasi iklim kadang jauh dari prediksi. Kita sudah sampaikan kepada 173 tenaga PPL yang ada di lapangan agar mereka terus memantau kegiatan persiapan lahan petani," ujarnya. (ee/yon)


Continue reading →
Rabu, 17 Agustus 2011

Islam dan Masyarakat Bangsa

0 komentar



Dok: Detiknews
Islam lahir di lingkungan masyarakat yang berukuran kecil, yaitu masyarakat antar keluarga dalam suku yang sama, yaitu suku Quraisy. Setelah tiga belas tahun lamanya hidup dalam lingkungan seperti itu, ia menjadi pegangan hidup masyarakat antar suku di kota Madinah, yang sebelumnya bernama Yatsrib. Keadaan demikian bertahan hingga menjelang saat Nabi Muhammad SAW wafat di tahun 10 H. Bentuk masyarakat lebih luas tercapai ketika dilanjutkan oleh khalifah Abu Bakar Siddiq sepeninggal beliau. Kawasan masyarakatnya bukan lagi kota Madinah belaka, melainkan telah menjangkau jazirah/semenanjung Arabia secara keseluruhan. Ketika Umar Ibnul Khattab menjadi khalifah kedua menggantikan Abu Bakar, ia mengembangkan wawasan masyarakat kaum muslimin menjadi sebuah imperium dunia. Kawasan yang demikian luas dari tepian sungai Indus di Timur membentang ke tepian Timur Samudra Atlantik di sebelah Barat itu disebut Arnold J. Toynbee sebagai 'oikuomene Islam', salah satu diantara peradaban-peradaban dunia yang penting.

Di abad modern ini, mau tidak mau Islam harus berinteraksi dengan sederetan fenomena yang secara global disebut sebagai 'negara bangsa' (Nation State). Tidak mudah bagi kaum muslimin untuk mencernakan historis untuk berinteraksi itu, dan kesulitan inilah yang sebenarnya melandasi 'kegaduhan dialog intern' dalam Islam dewasa ini. Munuclnya apa yang disebut 'fundamentalisem Islam' dan hal-hal sejeni adalah satu sisi dari interaksi intensif antara Islam dan wawasan kebangsaan. Karenanya, dianggap relevan dalam kesempatan ini untuk membicarakan kaitan antara islam dan masyarakat bangsa, masyarakat yang timbul sebagai lingkungan hidup sosial dari negara bangsa. 

Negara dan Konstruk Islami
Kalau mau dilihat sepintas lalu saja, sebenarnya al-Qur'an sendiri telah menyinggung entitas yang bernama bangsa itu. Allah berfirman: "Sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian dari (jenis) pria dan wanita, dan kujadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar saling mengenal; seungguhnya yang termulia di sisi Allah adalah (mereka) yang paling bertakwa." Kalau al-Qur'an sudah demikian eksplisit menyebutkan adanya bangsa, mengapakah lalu ada kesulitan dalam mencari kaitan  antara Islam dan wawasan kebangsaan? Jawaban atas pertanyaan tersebut terletak pada arti kata 'berbangsa' yang digunakan al-Qur'an itu.

Pengertian al-Qur'an terbatas hanya bangsa sebagai satuan etnis yang mendiami teritorial yang sama. Sedangkan wawasan kebangsaan di masa modern ini sudah berarti lain, yaitu satuan politis yang didukung oleh sebuah ideologi nasional. Penjelmaan pengertian ini adalah konsep negara-bangsa. Ada sangat pluralistik dalam komposisi etnis dan kulturnya, dengan mendiami kawasan dengan luas yang massif, seperti India, Cina, dan Indonesia. Namun tidak kurang pula yang kawasan teritorialnya sangat kecil, dengan komposisi etnis sangat sederhana, speerti Kuwait dan Kiribati. Dengan demikian, firman eksplisit di atas seolah-olah tidak bicara kepada kita tentang sebuah masyarakat bangsa dalam artian modern.

Kesulitan terbesar dalam mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan terletak pada sifat Islam yang seolah-olah 'supranasional'. Sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh, tidak peduli asal-usul etnisnya. Tentulah sangat sukar untuk memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam konstruk ideologis yang bersifat nasional. Kalau dipaksakan juga, berarti wawasan Islam harus 'ditundukkan kepada wawasan nasional dari sebuah ideologi. Dari sudut pandangan inilah sebenarnya harus dimengerti munculnya gagasan 'Negara Islam' dalam berbagai variasinya. Gagasan itu berisikan upaya melerai antara Islam dan wawasan kebangsaan, dengan memformalkan kedua sisi yang saling berbeda ini dalam sebuah institusi tunggal. 

Reaksi lain dari timbulnya kesulitan ini mempertemukan kedua sisi di atas adalah upaya utopis untuk melakukan idealisasi peranan Islam bagi kehidupan. Kebutuhan akan sebuah konstruk/bentukan yang bersifat nasional, yang nantinya berujung pada negara, ditinggalkan dan sebagai gantinya dicari jalan pintas dengan membuat 'konstruk Islami', seperti gagasan ekonomi Islami, Ilmu pengetahuan Islami, masyarakat Islami dan seterusnya. Upaya ini memang merupakan obat penenang untuk sementara waktu, karena gambaran ideal tentang Islam memang menyejukkan hati. 

Yang menjadi persoalan adalah kenyataan bahwa negara-bangsa dengan wawasan kebangsaannya adalah fakta yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, idealisme Islam sebagai konstruk yang ideal hanyalah merupakan pelarian dari kenayataan. Hanya da pilihan dari hal yang akan menjadi pencarian semacam itu, meneruskan utopisme itu kepada usaha operasional untuk menjadikan Islam sebagai 'sistem alternatif terhadap konsep negara bangsa umumnya, atau langsung meninggalkan wawasan Islam sama sekali.

Jelas sekali, sikap memilih salah satu dari dua hal di atas sama sekali tidak konstruktif, karena di dalamnya terkandung sikap apatis terhadap kehidupan masyarakat bangsa. Kalau kita jujur kepada masyarakat bangsa itu, mau tidak mau haruslah diupayakan untuk mendudukkan permasahalan pada konteks proposional baginya.

Prinsip al-Ghayah wal Wasail
Salah satu cara untuk meneropong kaitan antara wawasan Islam yang universal dan supranasional dan wawasan kebangsaan dari sebuah masyarakat bangsa adalah dengan mengambil sudut pandangan fungsional antara keduanya. Menurut jalan fikiran ini, Islam haruslah ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, apa pun bentuk masyarakat yang digunakan. Al-Qur'an dengan indahnya merumuskan fungsi tersebut dengan dua buah ayat. Pertama firman Allah, "Telah ada bagi kalian keteladanan sempurna dalam diri Rasulullah, bagi (mereka) yang mengharapkan ridha Allah di Hari Akhir nanti, serta senantiasa sadar akan (keagungan) Allah". Dalam hal apakah Rasulullah menjadi keteladanan sempurna (uswatun hasanah)? melainkan membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia dan jagad raya seisinya". Untuk keperluan tugas penyejahteraan kehidupan itu manusia diciptakan dengan kelengkapan sempurna (ahsan taqwim) sebagai makhluk. Dengan demikian ia mampu mengembangkan kepribadian, dan melalui pengembangan kepribadian itu lahirlah pola hubungan antara manusia yang dinamai pergaulan masyarakat.

Dengan kata lain, wujud Islam sebagai pandangan hidup memerlukan pengejawantahan dalam bentuk masyarakat yang berstruktur, karena pada hakikatnya bentuk itulah yang merupakan kongkretisasi pergaulan masyarakat. Kalau benar tesis bahwa wawasan Islam harus menemukan bentuknya dalam masyarakat berstruktur, maka sebenarnya menjadi tidak penting untuk mempersoalkan bentuk operasional itu sendiri, selama tujuan mengupayakan kesejahteraan hidup masih dipegang sebagai patokan bersama. Dengan ungkapan lain, bentuk yang paling mungkin dicapai adalah yang paling tepat digunakan, bukannya bentuk-bentuk utopis yang ditawarkan melalui idelasasi sebuah 'konstruk Islam'.

Hukum agama merumuskan hal itu dengan jitu dalam konsep kegiatan sosial yang senantiasa harus bersandar pada prinsip 'tujuan dan cara pencapaiannya' (al-ghayah wal wasa'il). Selama tujuan (termasuk sasaran) masih tetap, cara pencapaiannya menjadi masalah sekunder. Bagaimanakah harus dijaga agara prinsip ini tidak menuju kepada sikap 'tujuan menghalalkan segala cara'? Kalau dilihat dari fungsi agama dalam kehidupan masyarakat, Islam bertugas melestarikan sejumlah nila dan pola perilaku sosial yang mempertalikan pencapaian tujuan dengan kemuliaan cara yang digunakan untuk itu. Tata nilai dan pola perilaku yang disebut akhlaq karimah. 

Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam berfungsi penuh dalam kehidupan sebuah masyarakat bangsa, melalui pengembangan nilai-nilai dasarnya sebagai etika masyarakat yang bersangkutan. Islam berfungsi bagi kehidupan masyarakat bangsa tidak sebagai bentuk kenegaraan tertentu, melainkan sebagai etik sosial yang akan memandu jalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat itu sesua dengan martabat luhur dan kemuliaan derajat manusia, karena pada analisa terakhir manusialah yang menjadi obyek upaya penyejahteraan hidup itu. Bahwa bentuk negara bangsa yang dipakai, bukannya bentuk kemasyarakatan yang lain, semata-mata karena ia lebih efektif untuk pencapaian tersebut. Sudah tentu pandangan mengutamakan efektivitas ini bersesuaian sepenuhnya dengan prinsip 'al-ghayah wal wasa'il'  di atas.

Etika Sosial atau Sekularisasi?
Masalah yang timbul kemudian adalah pertanyaan berikut: haruskan ajaran-ajaran Islam diundangkan in toto  (secara keseluruhan) oleh negara? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlulah difahami terlebih dahulu hakikat 'hukum agama' itu dalah Islam menurut sejarahnya, tidak seluruh ajaran Islam diundangkan oleh negara. Sangat banyak aspek kehidupan yang masuk ke dalam kategori 'hukum agama', ternyata hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan atas kesadaran warga masyarakat. Kenyataan inilah yang melandasi wawasan hukum agama sebagai fiqh (berarti faham, tahu, sadar). Walaupun ia bernama hukum agama, tidak seluruh kandungannya berupa hukum formal yang diundangkan oleh negara.

Kalau hal ini difahami dengan mendalam, jelaslah bahwa kita harus mempertimbangkan kebutuhan mengundangkan hukum agama hanya pada apa yang dapat diundangkan saja (wadh'ul ahkam fi halati imkaniyya wadhi'hi). Ajakan untuk mengundangkan hukum Isalm sebagai persyaratan diterimanya konsep negara bangsa, tanpa mempertimbangkan dengan mendalam keterbatasan masyarakat seperti itu untuk melakukannya, akan merupakan hambatan mendasar bagi pencapaian tujuan Islam sendiri.

Hukum agama tidak akan hilang kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. Bahkan kebesaran akan memancar, karena ia mampu mengembangkan diri tanpa dukungan massif dari institusi masyarakat yang bernama negara. Pada hakikatnya, jika nilai-nilai luhur yang dibawakan Islam harus bertumpu pada kekuasaan negara, maka proses sekularisasi telah terjadi, karena institusi negara menjadi lebih kuat dari agama. Beragama Islam, yang artinya berserah diri sepenuhnya kepada Allah, adalah tujuan hidup yang luhur. Karenanya, haruslah dihindarkan agar tidak diletakkan di bawah wewenang negara, melainkan menjadi kesadaran kuat dari warga masyarakat. Bukankah lalu menjadi terasa sangat dalam makna sabda Nabi Muhammad, "bahwasannya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak". Kemudian akhlak hanyalah terasa logis disempurnakan, jika upaya itu diartikan pengembangan kesadaran mendalam dalam etika sosial dari sebuah masyarakat bangsa.

Tugas Islam adalah mengembangkan etika sosial yang memungkinkan tercapainya tujuan penyejahteraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masyarakat yang bernama negara maupun di luarnya. Fungsionalisasi etika sosial dapat saja terbentuk pengundangan melalui hukum formal, maupun 'sekedar' melalui penyadaran masyarakat akan pentingnya pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan nyata. Dari kesimpulan ini dapatlah diketahui, bahwa universalitas nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa, terlepas dari bentuk yang digunakan.

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Continue reading →
Selasa, 16 Agustus 2011

Merah Putih Berkibar di Perbatasan RI-Malaysia

0 komentar
P3M, NUNUKAN - Tepat pukul 08.00 di perbatasan RI-Malaysia, bendera merah putih dikibarkan pasukan pengibar bendera di Lapangan Kanduangan, Desa Sekaduyan Taka, Kecamatan Siemanggaris, Kabupaten Nunukan.

Bendera yang dibawa Mina dengan penggerek bendera Martinus dan Zainal Azis dikibarkan dengan diikuti sikap hormat dan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang di iringi Marching Band Gita Swara Sempadan SMA 1 Nunukan.

Upacara pagi ini dimulai pukul 07.55 dengan Inspektur Upacara Wakil Bupati Nunukan Hj Asmah Gani. Adapun komandan upacara, Komandan Pos Satgas 631/Atg Kanduangan Lettu Inf Hendro Gunawan.
Warga di perbatasan RI-Malaysia di Desa Sekaduyan Taka, Kecamatan Siemanggaris, Kabupaten Nunukan begitu antusias hendak mengikuti Upacara Peringatan HUT RI ke-66 di Lapangan Kanduangan.

Sejak pagi mereka mulai berdatangan ke lapangan. Ada yang berjalan kaki, ada pula yang menumpang truk maupun mengggunakan kendaraan roda dua menuju lokasi upacara. Pukul 07.00 mereka sudah berbaris rapi di lapangan.

Pantauan Tribun, dalam barisan peserta upacara terdapat pasukan pengibar bendera, pelajar sekolah dasar, pelajar SMP, Marching Band Gita Swara SMA 1 Nunukan, TNI, Pemuda Panca Marga, paduan suara, Pramuka, Pemuda Pancasila, warga adat serta warga desa. (*)


Continue reading →

Pemerintah Siapkan Rp 700 Miliar Selamatkan Sapi Betina Lokal

0 komentar
P3M, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) telah menyiapkan dana untuk menyelematkan sapi betina produktif sebesar Rp 700 miliar.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Prabowo Respatiyo mengatakan Dinas Peternakan di daerah baik Propinsi dan Kabupaten/Kota bertanggungjawab untuk menyelamatkan sapi betina.
"Karena anggaran itu kan kami serahkan kepada mereka kemudian mereka seharusnya melakukan operasi pasar seperti yang saya lakukan bersama para importer kemarin. Kalau ada yang melihat ada sapi sapi betina produktif, itu harus segera diamankan, dibeli saja, tentu dengan harga jangan sampai merugikan petani ternak," ujarnya di Jakarta, Selasa (16/8/2011).
Selanjutnya, sapi betina tersebut akan dikembangbiakkan dalam upaya swasembada gading 2014. Sapi akan dikumpulkan di Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) dan akan dijadikan bibit.
"Perlu diketahui bibit sapi lokal kita ini adalah bibit sapi terbaik. Kita punya ternak lokal yang bagus seperti sapi Bali, sapi Madura sapi Aceh dan sapi Beo. Itu yang harus diselamatkan," tegasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh importer Indradi Loekman dari PT. Karunia Segar Utama. Untuk mendukung program pemerintah menuju swasembada gading 2014, ia bersama importer lainnya telah membeli sapi betina di daerah Purwokerto dan Kebumen, Jawa Tengah.
"Beberapa hari lalu kami langsung turun ke lapangan, selain membeli sapi betina, juga untuk mendukung program pemerintah. Disana kami mengsosialisasikan stop pemotongan daging betina," ujarnya.
Dengan adanya swasembada ini, dampaknya bisa mengurangi impor daging di setiap tahunnya. Oleh karenanya, ia berharap agar semua stakeholder memiliki kesadaran serupa untuk mengolah daging lokal agar kebutuhan tetap terpenuhi. Tak hanya itu, peternak juga dianjurkan bagaimana mengelola daging lokal agar memiliki kualitas yang sam dengan daging impor.
"Inilah yang kami mau terapkan, dalam arti kami ingin memberikan masukan kepada agar kualitas daging lokal tidak terlalu jauh dengan daging impor," ujarnya.
"Dan untuk mencapai swasembada ini memerlukan dukungan semua pihak baik dari pemerintah, pengusaha maupun masyarakat. Semua harus bergerak, dan tidak hanya sekedar slogan. Harapan kami importer lain akan mengikuti, karena selain ini kegiatan sosial juga akan membantu program pemerintah," pungkasnya.
Dikatakannya, pada hari Sabtu (13/8/2011) lalu, rombongan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan bersama beberapa importer yang mewakili PT Anzindo Gratia International dan PT. Karunia Segar Utama serta Asosiasi Distributor Daging Indonesia (ADDI) mengadakan kegiatan sosialisi agar peternak berhenti untuk memotong sapi betina produktif di bebepara tempat yakni Purwokerto, Kebumen hingga sebuah peternakan sapi di daerah Gunung Dieng, Jawa Tengah.
Dalam kesempatan itu, rombongan ini juga memberikan kaos bertuliskan 'Stop Pemotongan Sapi Betina' kepada para peternak. Kegiatan ini juga, para stakeholder peternakan sapi juga berencana akan membeli 200 ekor sapi jantan dan sapi betina produktif yang akan dikembangbiakkan. Akan tetapi, saat itu baru sekitar 40 (masing-masing 20 ekor sapi jantan dan 20 ekor sapi betina produktif) yang berhasil dibeli dan telah terkirim ke Jakarta.
"Ke depan, para importer ini membuat kontrak dengan peternak untuk melanjutkan jual beli sapi, khususnya betina produktif," paparnya.

Continue reading →
Senin, 15 Agustus 2011

Pondok Pesantren Garap Isu Lingkungan

0 komentar
P3M, JAKARTA— Pondok pesantren sebagai bagian dari masyarakat ternyata memiliki peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata dalam mengatasi isu lingkungan.
Kami harapkan seluruh warga Pondok Pesantren Nurul Hakim dapat terus menjaga komitmen dalam melaksanakan upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan dengan mengajak warga atau pondok pesantren sekitar
Kementerian Lingkungan Hidup mengajak keikutsertaan pondok pesantren untuk peduli terhadap masalah-masalah lingkungan lewat program Eco-Pesantren.
Hal ini disampaikan Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta saat mengunjungi Pesantren Nurul Hakim dalam rangka Safari Ramadhan di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Pesantren Nurul Hakim contohnya, telah menunjukkan pemahaman dan pengamalan yang tepat dengan melaksanakan pengelolaan lingkungan.
Di antaranya, yakni dukungan terhadap 611 pondok pesantren menuju pondok pesantren berwawasan lingkungan, pembentukan 50 sentra pembibitan tanaman, pendistribusian lima juta bibit pohon ke 611 pondok pesantren, penanaman lebih dari 600.000 bibit pada lahan wakaf seluas 300 hektar, penyusunan empat buku khotbah lingkungan bagi masyarakat pesisir, masyarakat sekitar hutan, masyarakat pulau terpencil, dan masyarakat petani.
"Kami harapkan agar seluruh warga Pondok Pesantren Nurul Hakim dapat terus menjaga komitmen dalam melaksanakan upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan dengan mengajak warga atau pondok pesantren sekitar, terutama mengingat kedudukan Pondok Pesantren Nurul Hakim sebagai Ketua Forum silaturahmi Pondok Pesantren se-NTB," kata Gusti.
Kementerian Lingkungan Hidup telah mencanangkan Program Eco-Pesantren pada tanggal 5 Maret 2008 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta.
Program ini merupakan salah satu tindak lanjut dari kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup dengan Departemen Agama. Program Eco-Pesantren merupakan program strategis KLH yang akan mendorong peningkatan pengetahuan, kepedulian, kesadaran, dan peran serta aktif warga pondok pesantren terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup berdasarkan ajaran agama Islam.
Program Eco-Pesantren diharapkan akan menjadi program bersama yang aplikatif dan kegiatan aksi nyata dalam mengatasi permasalahan lingkungan melalui jalur agama.
Melalui Program Eco-Pesantren ini juga diharapkan akan dapat membuka peluang untuk saling bersinergi antarberbagai pemangku kepentingan untuk menyelamatkan bumi. 

Continue reading →
Sabtu, 13 Agustus 2011

Pesantren Miftahul Huda, Tempel Sleman

0 komentar
Ilustrasi Pesantren
Secara fisik, pesantren ini baru terwujud sesudah pengasuh berhasil mendirikan sebuah masjid dan 6 buah kamar pemondokan santri yang sederhana pada tahun 1951. Namun usaha rintisannya telah berjalan sebelum itu, yaitu ketika pengajian dilakukan di rumah pendiri pesantren, KH. Ihya. 
Dengan perlahan pesantren ini terus mengembangkan diri. Untuk kebutuhan santri-santri putri, sebuah bangunan asrama dengan 14 kamar kemudian dibangun. Pada akhir 1982 sebuah bangunan bertingkat dengan 12 kamar didirikan. Fasilitas seperti listrik dan sumur pompa berhasil diperoleh. Demikian juga beberapa alat ketrampilan seperti mesin jahit atas sumbangan masyarakat setempat.
Sampai tahun 1981, tercatat 950 orang santri yang menuntut ilmu di sini. Di antara mereka yang mukim hanya 59 orang, terdiri dari 39 putri dan 20 putra. Meskipun pesantren sudah menganut sistem klasikal, pelajaran yang diberikan sepenuhnya masih menggunakan kitab-kitab sebagai pegangan utama. Di samping itu juga masih menggunakan sistem pengajian tradisional. Santri dibagi ke dalam tiga kelas. Masing-masing kelas menggunakan kitab yang berbeda sesua dengan mudah atau sulitnya sebuah kitab. Untuk pelajaran fiqh, menggunakan Safinah, Fathul Qarib, dan Fathul Mui'n. Di bidang tauhid, mempelajari Tijan, Matan Sanusi, dan Jauhar Tauhid.
Untuk pelajaran akhlak, menggunakan kitab Washoya, Ta'lim Mutaalim dan Makarimal Akhlak. Pelajaran Hadits menggunakan kitab Tanqihal Qaul, Bulughul Maram, Riyadlus Sholihin dan Shahih Bukhori. Sedangkan untuk pelajaran nahwu, digunakan kitab Jurumiyah, Matan Bina dan Alfiyah.
Selain kitab yang disebutkan di atas, masih banyak lagi kitab yang dipelajari, tergantung minat santri. Untuk kitab jenis ini, Kyai sendiri yang mengajar dengan metode sorogan dan wetonan. 
Dalam mendidik santrinya, KH. Ihya dibantu dua tenaga pengajar pria dan tiga pengajat wanita, termasuk istrinya sendiri. Selain itu, masih ada empat tenaga pengajar ketrampilan, seluruhnya wanita, melatih antara lain berpidato, masak-memasak dan jahit menjahit.
Kompleks Pesantren Miftahul Huda terletak di desa Lodoyong, Kecamatan Tempel, Kabupaten Slemanm kira-kira 10 km sebelah Utara Yogyakarta. Desa ini mudah dicapai dengan sedikit berjalan kaki dari kecamatan Tempel.

Kontak
Pesantren Miftahul Huda, Tempel, Sleman
Alamat               : Desa Lodoyong, Kec. Tempel, Kab. Sleman
Pendiri               : KH. Ihya Ulumuddin
Pemimimpin       : K. Ihya Muhadzib
Santri                 :130 santri, 90 puteri dan 40 putera (2007)
HP                     : 08174118372


Continue reading →
Senin, 08 Agustus 2011

Pesantren Asalafiyah Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman

0 komentar
Pesantren Assalafiyah terletak di desa Mlangi, Kelurahan Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Slemana, Yogyakarta. Dirintis sejak juni 1936 oleh Kyai Masduki yang lahir di Bantul tahun 1901 dan pernah menimba ilmu antara lain di pesantren Tremas, Pacitan. Pondok ini mencatat kemajuan berkat putra Kyai Masduki yang bernama Suja'i, alumni pesantren Krapyak, Lasem, dan Tegalrejo. Ia menerima kepemimpinan pesantren sesudah ayahnya mengundurkan diri karena usia lanjut. Selama mengasuh pesantren ini, Kyai Suja'i mengambil langkah pembenahan ke dalam, antara lain penertiban administrasi pesantren, mendirikan organisasi pesantren dengan sejumlah staf yang memiliki tugas masing-masing, serta pembenahan kurikulum. 
Untuk tahun 1982/1983, santri yang belajar di sini berjumlah 150 orang, seluruhnya putera. Hanya lima orang diantara mereka yang tidak mukim. Sebagian dari mereka ada yang mengaji sambil bersekolah, atau sambil bekerja di pabrik tenun atau batik.

Dalam sistem pengajarannya, mereka dibagi ke dalam tiga kelompok dengan kitab pegangan yang berlainan, kelompok Ibtidaiyah antara lain menggunakan kitab Jurumiyah, Aqidatul Awam, Hidayatu Shibyan, Washoya, Durratul Bahiyyah, dan Al-Qur'an. Tsanawiyah menggunakan kitab Imriti, Sharaf Amtsilah, Qawaidful I'rab, Taqrib, Aqidatul Islamiyah, Jawahirul Kalamiyah, dan Ta'lim Muta'alim. Aliyah awal mempelajari kitab Alfiyah (awal), Fathul Mu'in (Awal), Fathul Wahab (Awal), dan Durotun Nasihin. Sedangkan Aliyah Tsnai, Fathul Muin (Tsani), Alfiyah (Tsani), Ibnu Aqil Syarah Alfiyah, Shahih Bukhori, Mahalli, Tafsir Jalalain dan Ihya Ulumiddin.

Di luar jam pengajian rutin, sebagian santri terlibat dalam beberapa kegiatan latihan ketrampilan. Antara lain pertanian, perikanan dan pertukangan yang meliputi jahit menjahit, merajut serta dekorasi. Untuk pertanian, pesantren telah memiliki sawah latihan seluas 360 m2. Sedang untuk perikanan digunakan dua buah kolam tempat membudidayaka  ikan gurame, tawes, dan ikan mas. 

Secara keseluruhan komplek pesantren ini menempati areal seluas 1000 m2 dengan beberapa fasilitas fisik, antara lain sebuah mushola, kantor, rumah kyai yang merangkap perpustakaa, 4 buah ruang belajar, 1 buah asrama santri, sebuah ruang untuk praktek ketrampilan, warung, MCK, dan kolam pemandian umum.

Perkembangan
Bangunan fisik Assalafiyah masih belum sempurna, kamar-kamar yang masih minim dan belum adanya ruang kelas resmi yang digunakan sebagai tempat formal pengajian. Namun fasilitas standar untuk hidup dengan sehat dan baik cukup terpenuhi, dibuktikan dari adanya WC, tempat / kolam pemandian, rental komputer, tempat parkir dan ruang dapur bagi para pecinta masakannya sendiri, lapangan volley dan tennis meja, yang cukup memadai.

Tahun 2009 adalah sejarah baru bagi Assalafiyyah, pembagunan gedung sebelah utara untuk santri putra telah dianggap cukup enak ditiduri, sehingga 5 kamar baru di tingkat dua siap dimanfaatkan. Tepat setelah akhiris sanah 1430 H, santri putra mengadakan boyongan kamar.  

Kurikulum
1. Jenjang pengajian dibagi tiga :
a. Thobaqoh Ula (Pra Semester) : 3 tahun
b. Thobaqoh Wustho (Semester) : 3 tahun
c. Thobaqoh 'Ulya (Pasca Semester) : 3 tahun

2. Santri dapat mengampil jenjang dan semester manapun setelah melalui test masuk dan atau Ujian Lompatan.

3. Jenjang Pra Semester mengikuti sistem paket (semua mata pengajian adalah mata pengajian pokok), sehingga apabila ada satu mata pengajian yang tidak lulus, maka santri yang bersangkutan tidak dapat mengambil satupun mata pengajian program di atasnya.
4. Pada jenjang Semester, santri dapat mengambil mata pengajian manapun yang telah dipenuhi syarat-syarat pengambilannya, setelah disetujui oleh Pembimbing Akademik.
5. Pada jenjang Semester, mata pengajian Fiqih dan Alat merupakan mata pengajian pokok, selain itu adalah non-pokok
6. Meskipun menganut SKS (Sistem Kredit Semester), pada jam-jam mengaji, santri tetap diwajibkan melakukan kegiatan ta'allum, baik formal (mengikuti pengajian di kelas) maupun personal dengan dibimbing Qori'in.
7. Satu sks (satuan kredit semester, dengan huruf kecil) berarti dalam satu minggu belajar di kelas (tatap muka dengan guru) selama 3 jam dan di luar kelas 3 jam.
8. Jenjang Pasca Semester hanya bisa diambil setelah semua mata pengajian pada jenjang Semester dinyatakan lulus.


Program Tahfidzul Qur'an Pondok As-Salafiyyah

Khusus pondok putri, juga diadakan program Tahfidzul Qur'an yang kedudukannya sama dengan Thobaqoh Ulya (Pasca Semester). Akan tetapi program ini bukan atau belum masuk program kerja Majelis Qoriin, masih dipegang dan dikendalikan oleh Ibu Nyai Dafinatul 'Ulum Al-Khafidzoh (Putri Bapak Kyai), yang juga alumni dari Pondok Pesantren Pandanaran Yogyakarta (Pengasuh Mbah KH. Mufid Mas'ud). Setiap dua tahun sekali diadakan acara wisuda tahfid bersamaan dengan acara pengajian akbar akhir tahun (biasanya dilakukan pada siang harinya). Hingga tahun 2009 sudah dilaksanakan wisuda tahfidz sebanyak 7 angkatan.

Mata Pengajian dan Kitab Acuan Yang Digunakan

Berikut adalah daftar mata pengajian dari tiga thobaqoh yang ada, beserta besar kredit semester dan kitab yang menjadi acuannya. Ini mulai diterapkan sejakSanatud Dirosah 1426-1427 H, setelah mengalami berbagai perbaikan sejak sistem SKS diterapkan pada 1995.


Kontak
Pondok Pesantren Assalafiyyah Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman 

Pendiri            : KH. Masduqi
Pemimpin        : KH. Suja'i Masduqi 
Alamat            : Mlangi, Nogotirto, Gamping, Slema, Yogyakarta, 55292  
Telepon           : (0274)7435330

Continue reading →

Label