AntaraNews |
Pendidikan karakter adalah sebuah proses penanaman nilai esensial pada diri anak melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai yang menjadi core values dalam pendidikan yang dijalaninya ke dalam kepribadiannya. Selain itu, pendidikan karakter juga sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Adapun nilai yang layak ditanamkan kepada anak terdapat sembilan pilar karakter, yaitu: cinta Allah dan segenap ciptaan-Nya; kemandirian dan tanggug jawab; kejujuran, amanah dan bijaksana; hormat dan santun; dermawan, suka menolong dan gotong royong; percaya diri, kreatif dan pekerja keras; kepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah hati; toleransi dan kedamaian; serta kesatuan (Ratna Megawangi, 2004).
Bahkan lebih dari itu, menurut Khoesoema (2007), pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual peserta didik sehingga menjadi personal yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial. Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit sosial.
Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi sebuah proses perbaikan dalam masyarakat. Namun demikian, pendidikan karakter yang harus menjadi penopang pendidikan sains tidak cukup dengan hanya mentransmisikan nilai-nilai di atas, tetapi memerlukan suatu proses pendidikan yang menekankan pada tiga komponen karakter yang baik, yakni moral knowing, moral feeling, dan moral action (Lickona dalam Megawangi, 2004). Dan juga memerlukan proses pendidikan yang mencakup penghayatan, pelatihan, dan pembiasaan.
Proses pendidikan seperti itu tidak dapat mudah dilaksanakan. Ia hanya dapat dilaksanakan dalam sistem pendidikan kampus terpadu yang mengarah pada pembinaan kepribadian seutuhnya. Proses pendidikan terpadu demikian ini yang sudah lama dilaksanakan oleh lembaga pendidikan pesantren. Lebih dari itu, sistem pendidikan pesantren mampu melaksanakan pendidikan karakter yang berakar kepada keyakinan hidup dan keagamaan yang tidak akan tergoyahkan oleh arus perubahan nilai-nilai sosial budaya yang dihembuskan oleh era globalisasi.
Sesuai dengan wataknya, pesantren memiliki ciri khas tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Salah satu ciri khas pesantren adalah pengajaran kitab-kitab kuning, kitab-kitab Islam klasik yang ditulis dalam bahasa Arab, baik ditulis oleh ulama-ulama Arab maupun ulama-ulama Indonesia sendiri (Abdurrahman wahid, 2001).
Karena tradisi tersebut, banyak kalangan yang mengakui bahwa tradisi pengajaran di pesantren merupakan tradisi agung yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia yang dikenal dengan "tradisi pesantren". Pentransmisian ajaran Islam tradisional yang tertuang dalam kitab-kitab klasik (kitab kuning) itulah yang menjadi ciri khas tradisionalisme sistem pendidikan di pesantren.
Walaupun bersifat tradisional, pesantren telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah, dan pusat pengembangan ilmu di Indonesia. Ia merupakan agen pemberdayaan masyarakat bermoral dan beretika yang mampu menggembleng para santri dalam menimba ilmu agama dan menanamkan budi pekerti.
Selain bentuk pengajarannya yang tradisional, pesantren juga mempunyai pola kehidupan yang unik. Karena dari kehidupan lahiriahnya, pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah kediaman pengasuh/kiai, sebuah surau atau masjid, tempat pengajaran diberikan, dan asrama tempat tinggal para santri.
Pendidikan karakter di pesantren dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan dikarenakan pendidikan pesantren mampu melaksanakan tahapan tiga component of good character dengan baik. Pertama, tahapan moral knowing disampaikan dalam dimensi masjid dan dimensi komunitas oleh kiai/ustad. Kedua, moral feeling dikembangkan melalui pengalaman langsung para santri dalam konteks sosial dan personalnya. Aspek emosi yang ditekankan untuk dirasakan para santri meliputi sembilan pilar pendidikan karakter, khususnya pilar rasa cinta Allah dan segenap ciptaan-Nya.
Ketiga, moral action meliputi setiap upaya pesantren dalam rangka menjadikan pilar pendidikan karakter rasa cinta Allah dan segenap ciptaa-Nya diwujudkan menjadi tindakan nyata. Hal tersebut diwujudkan melalui serangkaian program pembiasaan melakukan perbuatan yang bernilai baik menurut parameter agama di lingkungan pesantren.
Dalam mewujudkan moral action, pesantren memerhatikan tiga aspek lainnya terkait dengan upaya perwujudan materi pendidikan karakter pada diri santri, yang meliputi kompetensi, keinginan, dan kebiasaan. Pembentukan ketiga aspek tersebut diupayakan oleh kiai/ustad secara terpadu dan konsisten yang pada akhirnya diharapkan melahirkan moral action yang secara spontan dilakukan anak, baik di lingkungan pesantren, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat.
Oleh: Sarmidi Husna
Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
Dimuat di Opini Republika dan Republika Online, 15 Juli 2011
Oleh: Sarmidi Husna
Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
Dimuat di Opini Republika dan Republika Online, 15 Juli 2011