Muhtadi Ar |
Kasus Yusnari Yosra, seorang khotib Jum’at di masjid DPRD DKI Jakarta, dalam khutbahnya sebulan lalu (25/8/2008) menghina Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), dan kemudian oleh jamaah jum’at dipaksa untuk menghentikan khutbahnya, adalah satu di antara ribuan kasus yang akhir-akhir ini sering kita jumpai dalam khutbah jum’at, maupun ceramah-ceramah agama.
Di banyak masjid, baik di wilayah Jakarta dan sekitarnya, maupun dibeberapa kota besar di Indonesia, seringkali kita jumpai khutbah yang isinya hanya menghujat, menyalahkan, menjelek-jelekkan, bahkan menghakimi orang atau kelompok lain sebagai orang dan kelompok yang sesat, murtad, dilaknat, dan segenap cap buruk lainnya.
Keadaan demikian, tentu sangat memprihatinkan. Pertama, mimbar khutbah yang sesungguhnya adalah tempat untuk menyampaikan pesan takwa dan keluhuran ajaran agama, telah berubah fungsi menjadi tempat untuk menggunjing, bahkan memfitnah orang atau kelompok yang berbeda.
Kedua, sebagai sesama muslim kita telah kehilangan etika dan tata krama. Bayangkan, jika di majelis jum’at yang disucikan dan semua orang sedang beribadah, bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah, sang khotib berani mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas, lalu bagaimana jika di tempat-tempat umum.? Padahal jelas disebutkan dalam hadits Nabi, bahwa orang yang beriman hendaknya berbicara dengan baik, sopan dan santun. Dan kalau tidak bisa, lebih baik diam.
Ketiga, dengan isi khutbah semacam itu, secara tidak langsung berarti kita (para jamaah jum’at) telah diarahkan sang khotib untuk menolak keragaman dan menghargai setiap perbedaan. Padahal dalam al-Qur’an jelas disebutkan bahwa, Allah menciptakan isi bumi ini beragam, tidak satu. Ada laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, bersuku-suku (lihat: QS. Al-Hujurat [49]:13).
Model khutbah semacam ini jika terus dikembangkan para khotib tentu tidak sehat. Bukan saja karena bisa menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam dari para jamaah atas informasi yang disampaikan, tetapi juga merusak citra Islam itu sendiri. Di satu sisi, kehadiran Islam yang sesungguhnya ingin menjadi fasilitator dalam pemecahan problem-problem kemanusiaan ‘liyukhrijahum min al dzulumati ila al nur’ (agama itu datang untuk membebaskan manusia dari kegelapan), tidak akan pernah sampai ke masyarakat karena memang tidak pernah disampaikan. Sang khotib lebih suka dengan pembahasan yang berisi tentang ‘orang lain’.
Misalnya, tentang pesan luhur agama akan pentingnya menyelamatkan, membela dan menghidupkan keadilan dalam bentuknya yang paling kongkrit di masyarakat. Pembahasan semacam ini nyaris tidak pernah kita dengar dalam khutbah jum’at. Padahal banyak sekali ayat al-Qur’an dan juga Hadits Nabi yang memerintahkan manusia untuk berbuat adil, menentang kedzaliman dan mengentaskan kemiskinan.
Kemudian juga tentang cara atau metode menyampaikan gagasan. Menurut hemat saya, metode yang dipakai para khotib belakangan ini sangat jauh dari akhlak Islam yang santun dan sangat menghargai keragaman. Dalam Al-Qur’an misalnya disebutkan, dakwah hendaknya disampaikan dengan perkataan-perkataan yang bijak serta pelajaran yang baik (lihat: QS. An-Nahl [16]: 125). Tetapi apa yang kita dapati di mimbar-mimbar jum’at, seringkali khotib itu menyampaikan khutbahnya dengan nada tinggi dan emosi yang meledak-ledak. Menjelek-jelekkan orang, dan menganggap yang lain, yang tidak seide sebagai musuh yang harus dijauhi dan diperangi.
Menghadapi kenyataan demikian, lalu apa yang mesti kita lakukan.? Setidaknya ada dua hal. Pertama, kita harus menyeru dan kembali pada fungsi dan tujuan dari disyariatkannya ibadah shalat jum’at itu sendiri. Dalam kitab Al Fiqh ‘Ala Madzahib al Arba’ah karya Abdurrahman Al Jazyri misalnya disebutkan, tujuan dari shalat jum’at adalah agar sesama umat muslim bisa saling bertemu dalam satu tempat, sehingga masing-masing jamaah bisa saling mengetahui kondisinya, yang kaya bisa berderma kepada yang miskin, yang besar bisa mengasihi kepada yang kecil, dan sadar bahwa semua adalah hamba Allah. (lihat: Juz I hlm. 331).
Dengan kembali kepada tujuan ini, kita berharap isi khutbah jum’at akan jauh lebih santun dan menyejukkan hati. Khutbah tidak lagi menggunjing orang lain, tetapi lebih fokus pada usaha menyampaikan pesan luhur agama, sehingga akhirnya bisa tercipta kasih sayang diantara sesama jamaah jum’at, sesama umat muslim yang berjum’atan di tempat lain, dan utamanya kepada seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini.
Kedua, meningkatkan tabayyun (klarifikasi) diantara sesama umat muslim. Saya percaya, bahwa semua yang dipercaya menjadi khotib jum’at adalah orang-orang terpilih. Mereka tidak saja tokoh dilingkungannya masing-masing, tetapi juga adalah orang-orang yang cakap pengetahuan agamanya, dan bisa menjadi suri tauladan. Dengan melakukan kajian mendalam dan tabayyun terlebih dahulu terhadap suatu masalah yang akan disampaikan kepada jamaah, niscaya jamaah juga akan mendapati informasi valid, yang sifatnya tidak menggunjing orang lain, terlebih memfitnah.
Dalam al-Qur’an misalnya disebutkan, “janganlah diantara kamu sekalian menggunjing sebagian yang lain” (lihat: QS. Al-Hujurat [49]: 12). Artinya, dengan isi khutbah yang ‘membicarakan’ orang lain, maka jika benar isi pembicaraan itu disebut sebagai perbuatan menggunjing, dan jika isinya tidak benar disebut sebagai fitnah. Baik menggunjing maupun memfitnah, keduanya sama-sama dilarang dalam agama.
Karenanyalah, kita perlu menggagas pentingnya sebuah konsep dakwah yang membebaskan dan mencerahkan masyarakat. Ini penting karena pesan luhur agama itu hanya bisa diterima dan dicerna masyarakat dengan baik jika sang juru dakwah mampu menerjemahkan pesan agama itu dengan baik pula. Tanpa adanya penerjemahan melalui penalaran akal budi yang baik, maka agama juga hanya akan dijalankan secara letterlijk, kaku, keras, menakutkan bagi yang lain, dan tidak mampu memberikan efek positif bagi pengikutnya, karena memang disampaikan seperti itu.
Dakwah semacam ini akan semakin menemukan relevansinya setidaknya karena dua hal. Pertama, dakwah yang selama ini ada, banyak dilakukan secara agresif, bahkan sangat agresif. Padahal Allah sendiri telah memperingatkan Nabi Muhammad saw. agar tidak melakukan dakwah model ini. Disebutkan: Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan (QS. Hud [11]:12); Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang buta agama (ummi): ‘Maukah kalian masuk Islam’. Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan. (QS. Al-Imron [3]:20).
Kedua, model dakwah sekarang ini menurut saya terlalu keras dan tidak menukik pada substansi ajaran agama, wajah Islam sebagai penyelamat, pembela dan penghidup keadilan itu, seringkali justru berbenturan dengan kenyataan empirik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran Islam bukannya memecahkan berbagai problem, tetapi justru menjadi problem itu sendiri.
Dalam banyak kesempatan, agama bahkan hanya didakwahkan dan kemudian dipahami dalam bentuknya yang paling luar, sebagai ritual rutin yang jangkauannya hanya terbatas pada wilayah-wilayah privat dan spiritual belaka. Padahal, praktek keagamaan seperti inilah yang sesungguhnya telah menyebabkan Islam dalam berabad-abad lamanya kehilangan spirit religiusnya yang murni, yakni spirit keadilan yang menghubungkan antara keluhuran ajaran dengan kemuliaan praktik-praktik kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.
Hilangnya spirit keadilan ini pulalah yang menyebabkan umat Islam seringkali kesulitan menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh), karena yang sering terjadi justru praktik-praktik kehidupan beragama yang parsial dan terkotak-kotak. Dan inilah pentingnya kita menggagas dakwah yang progresif. Dakwah yang tidak hanya membicarakan perbuatan orang lain, tetapi dakwah yang mampu memberi spirit umat muslim untuk menjadi muslim yang unggul, berkualitas dan kaffah. Wallahu a’lam. []
Oleh: Muhtadin AR (Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat)