JAKARTA - Pesantren yang mengajarkan faham radikalisme belakangan menjadi sorotan menyusul ledakan di Ponpes Umar bin Khattab, Bima, NTB.
Ajaran radikalisme tersebut diajarkan di beberapa pesantren yang nota bene di bawah pengawasan Kementerian Agama. Lantas bagaimana faham tersebut bisa diserap para santri?
Pengamat terorisme Al Chaidar menjelaskan ada empat hal yang diajarkan dan berkembang di pesantren berhaluan radikal.
“Empat hal yang mereka bahas di pesantren yaitu negara Islam, khilafah, baiat, serta imamah atau kepemimpinan. Tema-tema ini akhirnya dimonopoli oleh orang tertentu sebagai doktrin yang akhirnya diterima secara mutlak oleh para santri,” ungkap Al Chaidar kepada okezone, Rabu (20/7/2011).
Menurut Al Chaidar, tema-tema bahasan tersebut dimonopoli dan ditafsirkan secara sepihak oleh pihak tertentu. Ini bisa terjadi karena selama ini tidak ada diskusi publik atau tokoh yang setidaknya bisa mengimbangi pemahaman negara Islam, khilafah, baiat, dan kepemimpinan versi umum.
“Pada akhirnya mereka lewat lembaga pendidikan membahas hal itu dan mengejewantahkan makna negara Islam, khilafah, baiat, Imaman, termasuk syariat Islam versi mereka. Tidak ada lagi yang mengimbangi pembahasan tentang hal itu sehingga mereka menguasai secara monopolistik kemudian menjadi doktrin yang diterima oleh para santri. Makanya faham ini akhirnya diterima mentah-mentah oleh santri sehingga ada kaderisasi dalam menafsirkan empat hal itu,” sambung Al Chaidar.
Untuk menangkal penyebaran faham ini, lanjut dia, perlu ada upaya dari pemerintah atau Kementerian Agama untuk membuka ruang diskusi sebesar-besarnya. Hal ini penting agar para santri dan masyarakat umum memiliki pemahaman yang utuh dan dapat mengimbangi doktrin negara Islam yang sudah dimanipulasi itu.
Sebelumnya Al Chaidar menyebutkan ada 127 pesantren berhaluan radikal di Indonesia. Tiga di antaranya yang belakangan disebut terdapat di Bima, NTB. Tiga pesantren itu diketahui memiliki jaringan dengan Pondok Pesantren Umar bin Khattaab di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Bima. Pada 11 Juli lalu terjadi ledakan keras di ponpes tersebut.
Ledakan terjadi dari bom rakitan yang dibuat Firdaus yang tewas dalam insiden itu. Firdaus disebut-sebut sebagai instruktur pembuat bom dan pernah mengenyam berjuang di Mindanau, Filipina bersama Imam Samudra.
Dalam perkembangan penyelidikan, polisi menetapkan empat tersangka tersangka pimpinan ponpes, Abrori.
Polisi juga menemukan 26 bahan bom yang sudah disembunyikan di lokasi berjarak sekira 15 kilometer dari pesantren. (ton)
Ajaran radikalisme tersebut diajarkan di beberapa pesantren yang nota bene di bawah pengawasan Kementerian Agama. Lantas bagaimana faham tersebut bisa diserap para santri?
Pengamat terorisme Al Chaidar menjelaskan ada empat hal yang diajarkan dan berkembang di pesantren berhaluan radikal.
“Empat hal yang mereka bahas di pesantren yaitu negara Islam, khilafah, baiat, serta imamah atau kepemimpinan. Tema-tema ini akhirnya dimonopoli oleh orang tertentu sebagai doktrin yang akhirnya diterima secara mutlak oleh para santri,” ungkap Al Chaidar kepada okezone, Rabu (20/7/2011).
Menurut Al Chaidar, tema-tema bahasan tersebut dimonopoli dan ditafsirkan secara sepihak oleh pihak tertentu. Ini bisa terjadi karena selama ini tidak ada diskusi publik atau tokoh yang setidaknya bisa mengimbangi pemahaman negara Islam, khilafah, baiat, dan kepemimpinan versi umum.
“Pada akhirnya mereka lewat lembaga pendidikan membahas hal itu dan mengejewantahkan makna negara Islam, khilafah, baiat, Imaman, termasuk syariat Islam versi mereka. Tidak ada lagi yang mengimbangi pembahasan tentang hal itu sehingga mereka menguasai secara monopolistik kemudian menjadi doktrin yang diterima oleh para santri. Makanya faham ini akhirnya diterima mentah-mentah oleh santri sehingga ada kaderisasi dalam menafsirkan empat hal itu,” sambung Al Chaidar.
Untuk menangkal penyebaran faham ini, lanjut dia, perlu ada upaya dari pemerintah atau Kementerian Agama untuk membuka ruang diskusi sebesar-besarnya. Hal ini penting agar para santri dan masyarakat umum memiliki pemahaman yang utuh dan dapat mengimbangi doktrin negara Islam yang sudah dimanipulasi itu.
Sebelumnya Al Chaidar menyebutkan ada 127 pesantren berhaluan radikal di Indonesia. Tiga di antaranya yang belakangan disebut terdapat di Bima, NTB. Tiga pesantren itu diketahui memiliki jaringan dengan Pondok Pesantren Umar bin Khattaab di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Bima. Pada 11 Juli lalu terjadi ledakan keras di ponpes tersebut.
Ledakan terjadi dari bom rakitan yang dibuat Firdaus yang tewas dalam insiden itu. Firdaus disebut-sebut sebagai instruktur pembuat bom dan pernah mengenyam berjuang di Mindanau, Filipina bersama Imam Samudra.
Dalam perkembangan penyelidikan, polisi menetapkan empat tersangka tersangka pimpinan ponpes, Abrori.
Polisi juga menemukan 26 bahan bom yang sudah disembunyikan di lokasi berjarak sekira 15 kilometer dari pesantren. (ton)
Sumber: Okezone