Jumat, 30 Desember 2011

POTRET KEBHINEKAAN DALAM DEMOKRATISASI DI INDONESIA

0 komentar
Perjalanantransisi demokrasi di Indonesia yang sudah memasuki 13 tahun terasa telahberada pada titik nadir. Indonesia sebagai negara majemuk, terdiri dariberbagai suku bangsa, agama maupun aliran kepercayaan semakin terancam olehtindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikalterterhadap penganut agama tertentu. Tindakan intoleransi, radikalisme,terorisme oleh kelompok tertentu dengan mengambil alih fungsi penegakan hukumitu jelas telah menjadi ancaman nyata integritas bangsa.
Negara terlihatbelum melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya dalam menjalankan konstitusinegara.  Negara nampak tidak konsistendalam memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas kebebasanberibadah, beragama dan berkeyakinan bagi warganya. Kebhinekaan kita terganggudengan banyaknya peristiwa kekerasan terhadap masyarakat dalam menjalankankeyakinannya. Ketenteraman kita terusik dengan terjadinya kekerasan atas namaagama seperti tragedi Cikeusik, insiden Ciketing dan Taman Yasmin, peristiwaAmbon serta bom bunuh diri Masjid Polres Cirebon dan  GBIS Solo.
Tidak berlebihanjika Lembaga Studi dan Advokasi masyrakat (ELSAM)  mengatakan bahwa tahun 2011 merupakan TitikNadir Perlindungan HAM. Alih-alih memberikan perlindungan, pemerintah malahmenjadi pelaku utama dan ikut terlibat dalam pelanggaran HAM. Jika dibandingtahun sebelumnya, kondisi kebebasan beragama pada tahun 2011 ini tidakmenunjukkan gejala yang lebih baik. Malah, awal 2011 bisa disebut sebagaiperiode paling gelap bagi perlindungan kebebasan beragama di Indonesia. Padabulan Februari 2011 sejumlah orang meninggal akibat gagalnya negara melindungiwarganya. Setelah tragedi Cikeusik ini, tercatat sedikitnya 12 pelanggaran terhadap kebebasan beragama jugaterjadi, disusul bulan Maret dengan 11 kali pelanggaran
Dari mulaiintimidasi hingga pengrusakan rumah ibadah, tercatat telah terjadi 63 kasus pelanggaran atas hak dan kebebasanberagama pada tahun ini. Sebanyak 12 kali kasus pelanggaran dilakukan oleh Pemda, 13 oleh warga masyarakat, 10kasus dilakukan oleh massa Front Pembela Islam (FPI) dan 9 kasus pelanggarandilakukan oleh Polri. Tindak pelanggaran ini belum termasuk pelanggaran yangberbentuk kebijakan. Dalam konteks ini, pemerintah justru mempromosikan danmendukung sejumlah regulasi yang melanggar hak kebebasan beragama. Setidaknyasudah 11 regulasi daerah yang bertentangan dengan hak kebebasan beragama, 9 diantaranyamengatur Ahmadiyah dan 2 diantaranya mengatur aliran keagamaan yang dianggapmenyimpang.
Tentunya tindakan kekerasan dan berbagai bentuk tindakan intoleran ini akanmenimbulkan efek sosial dan menimbulkan pertanyaan penting: sejauh manapenghormatan akan perbedaan dan kebebasan beragama bisa tetap terjaga danterjamin (terlindungi) sebagai sebuah kebanggaan dan kekayaan bangsa ini?Pemerintah dan aparat penegak hukum terlihat melakukan pembiaran atas tindakkekerasan yang menghalangi kebebasanberagama dan nampak abai dalam tugas-tugasnya.
Untuk itu kamidari koalisi masyarakat sipil dari JKLPK (Jaringan Kerja Lembaga PelayananKristen di Indonesia), P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat),AMAN Indonesia (The Asean Muslim Action Network) menyampaikan sikapkeprihatinan atas situasi tersebut dan kami menyerukan :
  1. Negara harus bersikap tegas dalam menjamin serta melindungi secara penuh, kebebasan serta kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk dan menjalankan keyakinannya sesuai amanat konstitusi.
  2. Negara harus meninjau ulang seluruh regulasi yang diskriminatif dan membelenggu hak kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan.
  3. Negara harus mengusut tuntas dan bertindak tegas  kepada pihak-pihak yang menganggu ketentraman masyarakat.
  4. Transisi Demokrasi yang damai sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan prinsip-prinsip kebhinekaan.

Jakarta, 20 Desember 2011
Kami Penyelengara :
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M)
JaringanKerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPK)
TheAsean Muslim Action Network (AMAN Indonesia)

Continue reading →
Sabtu, 24 Desember 2011

Konsensus Ahli Sunnah terhadap Turunnya Isa Al-Masih di Akhir Zaman

1 komentar

Mempercayai bahwa al-Masih ad-Dajjal akan turun kebumi dan di jidatnya tertulis kata kâfir, kebenaran hadist-hadist yangmewartakan tentang Dajjal, dan akan turunnya Isa as yang kemudian akan membunuhDajjal di pintu negeri Lud adalah sebuah keniscayaan. Inilah pendapat imamAhmad bin Hambal yang terdapat dalam “Aqîdah Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ`ahsebagaimana diriwayakan ‘Abdûs bin Malik al-Aththâr dari beliau.

Imam Abu Muhammad al-Barbahârî berkata dalam Syarhas-sunnah berkata: “Iman dengan turunnya Isa as ialah ia akan turun ke mukabumi, akan membunuh Dajjal, menikah, shalat di belakang imam yang berasal darikeluarga Muhammad Saw, wafat, serta dimakamkan oleh orang-orang muslim”.

image source: kitabrisalah
Imam Ath-Thâhâwî dalam Al-Aqîdah al-Ath-Thahâwiyyahkata: “Kami percaya dengan tanda-tanda kiamat, seperti keluarnya Dajjal danturunnya Isa as dari langit…”.

Imam Asy’ari dalam Maqâlât al-Islâmiyyîn berkomentar:“Sederet keyakinan yang dianut oleh ahli hadits dan sunnah ialah percaya kepadaAllah, para malaikat, serta para rasul-Nya. Firman Allah dan hadist-haditsRasulullah Saw yang diriwayatkan para perawi yang tsiqah tidaklah merekatolak barang sedikitpun…dan mereka juga membenarkan akan keluarnya Dajjal kemudianakan dibunuh Isa as”.Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abi Zaid al-Qairuwânîal-Maliki dalam risalah-nya yang terkenal berpendapat: “Kita harus percaya akankeluarnya Dajjal, turunnya Isa as ke muka bumi sebagai hakim yang adil yangakan membunuh Dajjal….”

Imam Abu Ahmad binHusain as-Syafi`i yang dikenal dengan nama Ibnu Hadad dalam Aqîdah-nyaberkata: “Tanda-tanda bahwa kiamat sudah dekat serti keluarnya Dajjal, turunnyaIsa as, munculnya asap, keluarnya binatang melata dari tanah, terbitnyamatahairi di ufuk Barat, dan lainnya sebagaimana yang terdapat dalamhadits-hadits sahih adalah benar adanya….”

Imam Ibnu Qudamah dalam Aqîdah-nya terkenalberkata: “Kita harus percaya dengan semua yang diwartakan Rasulullah Saw danhadits sahih yang diriwayatkan darinya yang membicarakan hal yang dapat kitasaksikan maupun yang tidak. Kita mengetahui bahwa hal itu adalah benar…..Dariapa yang dikatakan Nabi adalah tanda-tanda kiamat, seperti keluarnya Dajjal,turunnya Isa as yang kemudian membunuh Dajjal, keluanya Ya`jû` dan Ma`jûj,terbitnya matahri drai ufuk Barat, keluarnya bintang melata dari dalamtanah…dan yang liannya sebagaima yang diriwayatkan dalam hadits sahih”.

Ibnu Taimiyyah bekomentar: “Isa bin Maryam tetaplahhidup, Allah telah mengangkat ruh serta badan Isa kepada-Nya  Dan firman Allah Hai Isa, sesungguhnya Akuakan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu [QS. Ali Imran: 55],maksudnya adalah “mengambilmu”. Bagitu juga telah ditetapkan bahwa Isa as akanturun di menara putih yang terletak di sebelah timur Damaskus. Kemdudia iamembuhuh dajjal, menghancurkan salib, membunuh babi, dan menjadi hakim yangadil. Adapun yang dimaksud dengan kata at-tawaffâ ialah pengambilan,bisa juga yang dimaksudkan adalah mati atau tidur. Dan konteks pembicaraan yangada beserta Isa as memungkinkan untuk menafsirkan at-tawaffâ dengan semuaarti tersebut”.

Qadhi Iyadh berkata dalam Syarh ShahîhMuslim: “Menurut keyakinan Ahli Sunnah turunnya Isa as kemudian membunuh dajjaladalah benar karena keyakinan ini didukung dengan hadits-hadits sahih. Dan takditemukan dalil baik dari akal maupun syara’ yang menggugurkan keyakinantersebut. Oleh sebab itu, keyakinan akan turunnya Isa as yang kemudian membunuhdajjal musti dikukuhkan. Meski sebagian pengikut Muktazilah, Jahmiyyah, dan orang-orangyang menyepakati pendapat mereka menolak keyakinan tersebut. Mereka beranggapanbahwa hadits-hadits yang terkait dengan turunnya Isa as tidak dapat diterimakarena firman Allah bahwa Muhammad sebagai penutup para nabi [QS.Al-Ahzâb: 40], sabda Rasulullah Saw Tidak nabi setelahku, dankonsensus para ulama yang menyatakan tidak ada nabi setelah nabi Muhammad Sawdan syari’atnya akan tetap berlaku dan tidak dihapus sampai hari kiamat.Kesimpulan mereka ini jelas keliru. Sebab, turunnya Isa as tidak berarti iamenjadi nabi yang membawa syari’at baru yang menghapus syari’at kita, dan tidakjuga ditemukan baik dalam hadits maupun selainnya dalil yang mendukung pendapatmereka ini. Tetapi hadits-hadits ini dan hadits lain yang disebutkan dalam babiman dan selainnya, yang menyatakan bahwa Isa akan turun ke muka bumi sebagihakim yang adil, memutuskan segalanya dengan syari’at kita, dan menghidupkankembali ajaran-ajaran syari;at kita yang telah ditinggalkan oleh orang-oranadalah valid”. 

Lantas Qadhi Iyadh kembali memberikan komentar tentanghadits-hadits yang mingisahkan kisah dajjal: “Hadits-hadtis yang sebutkan imamMuslim dan lainnya dalam “Kisah Dajjal” ini merupakan hujjah bagi aliran AhliSunnah untuk menjustifikasikan kebenaran adanya dajjal, seorang yang bermatasatu, dijadikan Allah sebagai cobaan untuk hamba-hamba-Nya, dan  diberi kemampuan luar bisa. Seperti, mampumenghidupkan orang mati, bisa menjadikan keindahan dan kemegahan dunia, surga danneraka dunia beserta kedua sungainya, semua perbendahaarn dunia tundukkepadanya, bisa memerinthakan langit untuk menurunkan hujan dan bumimenumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Semua ini terjadi berkat kekuasan dan kehendakAllah Swt. Setelah itu Allah melemahkan dajjal, membunuhnya melalui Isa as danmeneguhkan orang-orang yang beriman. Demikianlah keyakinan Ahli Sunnah, semuaulama hadits, fikih, dan para cendekiawan berlawanan dengan keyakinan kaumKhawarij, Jahmiyyah, dan sebagian orang Muktazilah.

Al-Manâwî dalam Syarh Al-Jâmi’ Ash-Shaghîr berkomentar:“Para ulam telah bersepakat atas turunnya Isa as ke muka bumi sebaagi nabi.Tetapi ia membawa syari’at nabi kita, Muhammad Saw”. Dan pada bagian lain dalamkitab tersbeut, Al-Manâwî juga berkata: “Di dalam kitab Al-Mathâmih disebutkankonsensus para ulama terhadap turunnya Isa as dan tak ada seorangpun penganutagama Islam yang menolak konsensus tersebut kecuali dari kalangan filsuf danateis”.


As-Safarayainî dalam menjelaskan akidahnya berkata:“Turunnya Isa putera Maryam telah ditetapkan baik dalam Al-Qur`an, sunnah,maupun ijma’”. Kemudian As-Safrayainî menyebutkan dalil dari Al-Qur`an dansunnah. Lalu berkata: “Adapun dalil ijma’nya ialah kesepakatan umat Islam atasturunnya nabi Isa as dan tak ada seorangpun pemeluk Islam yang menolakkonsensus tersebut kecuali dari kalangan filsuf dan atheis di mana keduakalangan tersebut termasuk kelompok orang yang perbedaannya tidakdiperhitungkan. Dan umat Islam telah bersepkat bahwa Isa as akan turun danmenetapkan segala ssuatu dengan syarî’ah muhammadiyyah.
Continue reading →

Puisi "busyyeett" hingga Jamasan Insan Gus Yusuf

0 komentar

Wakil Bupati Magelang Zaenal Arifin melangkah secara santun memasuki arena Suran Tegalrejo 2011 bertajuk Jamasan Insan, tradisi rintisan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, pimpinan Kiai Haji Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf).

Para santri pondok pesantren (ponpes) setempat sejak tiga tahun terakhir merintis tradisi untuk merayakan tahun baru dalam kalender Jawa, Sura, yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan "Suran".

image: cakrawala sena [freshfluo]
Di ruangan terbuka untuk transit para undangan khusus di pojok arena pergelaran Suran Tegalrejo, di tepi Jalan Raya Magelang-Kopeng itu, duduk bersila antara lain budayawan Magelang Soetrisman, penyair Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya) dan Dorothea Rosa Herliany (Magelang), Koordinator Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) Umar Chusaeni.

Selain itu, dalang wayang suket kelahiran Tegal, Slamet Gundono dan guru spiritual gerak yang juga pengelola Padepokan Lemah Putih Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar Suprapto Suryodarmo, penyanyi tembang sufistik berasal dari Ponpes Asy-Syahadah Gunung Lawu Candra Malik dan pengajar tari Universitas Negeri Yogyakarta Wenti Nuryani.

Aneka makanan tradisional seperti getuk, nagasari, nasi kuluban, dengan minuman teh dan kopi panas tersaji di deretan dua meja di ruang untuk undangan khusus tersebut.

Seniman teater Kota Magelang Gepeng Nugroho bersama sejumlah lainnya yang tiba beberapa saat pergelaran itu dimulai, duduk bersila, bergabung dengan masyarakat umum baik lelaki, perempuan, anak-anak dan pemuda. Di atas terpal plastik yang mengelilingi panggung itu.

Pengajar tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Joko Aswoyo seakan menghindar untuk duduk bersama para undangan khusus. 

Ia yang berbaju koko warna putih dan mengenakan peci hitam itu terlihat mondar-mandir menikmati suasana eksotik arena Suran itu sambil berbincang dengan relasinya di KLG. 

Joko Aswoyo juga bertemu dan berbincang sebentar dengan seorang lulusan ISI Surakarta berasal dari Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, yang kini mengajar tari di SMP Negeri 4 Kota Magelang Titik Sufiani.

Gus Yusuf yang malam itu mengenakan surjan warna putih dan belangkong hitam khas itu, hilir mudik mendekati dan menyapa setiap orang yang masuk lokasi Suran yang terkesan bernuansa eksotik tersebut.

Para petinggi seniman petani Komunitas Lima Gunung Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) mengenakan pakaian adat Jawa antara lain surjan, bebet, dan belangkon, dengan keris terselip di punggungnya, sedangkan seniman perempuan berkebaya aneka motif dan berjilbab. 

Mereka berdiri berderet dan saling berhadapan dengan tatanan properti lilin bertudung kertas minyak warna kuning di tengah jalan masuk lokasi Suran, menyambut secara hormat dengan menyalami setiap tamu.

Musik tradisional shalawat Jawa Surah Nabi dimainkan 22 seniman grup Donoroso Mekarsari Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, di lereng Gunung Merbabu pimpinan Yosodipuro (62) dari panggung pengiring berukuran 48 meter persegi dengan instalasi dari tatanan dedaunan dan batang pepohonan kering membentuk dua gunungan raksasa.

Mereka memainkan tembang-tembang shalawat beriring tabuhan lima alat musik Islami, terbang, dengan syair antara lain Pengajabsih, Dhandanggula, Kinanti, dan Pangkur, seakan turut menyambut kedatangan para tamu dan masyarakat umum di arena dengan panggung pementasan berkarpet warna hijau, rajutan batang pohon jagung, dan lampu sorot aneka warna tersebut di bawah tenda cukup besar.

Langkah kaki Zaenal yang malam itu mengenakan baju koko warna putih dengan berpeci hitam dihentikan Arwanto, salah seorang penerima tamu. Lelaki muda anggota KLG Magelang itu menggunakan siwur, mengambil air dari satu di antara tiga gentong yang masing-masing bertuliskan tiga baris kalimat berbahasa Arab, kemudian meminta Wabup Zaenal menjulurkan kedua tangannya guna dibasuh.

Setiap tamu undangan khusus menjalani prosesi membasuh tangan dari air gentong itu, ketika memasuki arena Suran Tegalrejo. Dua seniman yakni Arwanto dan Ismanto secara hormat membasuh mereka satu per satu, yang rupanya sebagai simbol atas prosesi Jamasan Insan Suran Tegalrejo 2011.

"Delapan menit lagi kita mulai, sesuai rencana (pukul 20.15 WIB, red.)," kata Riyadi, pengatur acara Suran Tegalrejo, tatkala berkoordinasi di dekat panggung dengan dua pembawa acara Endah Pertiwi dan Gus Kholil, beberapa saat sebelum mulai pergelaran tradisi Suran Tegalrejo itu.

Para tamu undangan berpindah tempat bersila dari ruangan khusus mereka di dekat jamuan malam ke karpet di dekat panggung, sedangkan ratusan masyarakat umum yang sebelumnya berdiri di tepi arena pun merangsek duduk bersila dan sebagian lagi berdiri, di dekat panggung setinggi 20 centimeter, ketika belasan anak penari Geculan Bocah memulai memainkan tariannya pada pergelaran Suran Tegalrejo itu. Beberapa nomor gerak tari Geculan Bocah membuat para penonton berurai tawa.

Hujan yang sempat dikhawatirkan panitia turun saat mereka menggelar tradisi Suran, disebut Riyadi yang juga pemimpin Padepokan Warga Budaya Gejayan, di lereng Gunung Merbabu itu, sebagai "kalis" (tidak mempan), meskipun mendung tebal menggantung di langit kawasan Ponpes API Tegalrejo.

Zaenal dari tempatnya bersila tampak melambaikan tangan kanannya, tanda memanggil Atika yang baru saja turun panggung, selesai membaca puisi karyanya berjudul "Busyyeett.....!!!!". Atika adalah gadis remaja korban banjir lahar Gunung Merapi melewati alur Sungai Putih, warga Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, dan siswi SMP Negeri 2 Salam.

Puisi "Busyyeett.....!!!!" itu terdiri atas lima bait. Kata "busyyeett" yang dimaksud Atika, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tertulis "buset", yang artinya makian lembut untuk menyatakan umpatan dan keheranan.

Busyyeettku adalah desisan gadis kecil yang ingin jadi penyair. Yang terlahir sebagai ulat bulu yang menakutkan, menjijikkan, dan menggelikan. Hingga tak layak untuk berkawan.

Busyyeettku adalah ulat yang ingin jadi kepompong. Bertahun tahun aku jalani. Jadi kurir di usia dini. Jadi pengajar baca tulis di keluarga pemilik duit. Dan mengumpulkan jilid demi jilid untuk memenuhi tas ilmuku.

Busyyeettku adalah terima kasih pada bintang. Yang bersinar terang di atas lima gunung, yang menawan. Yang membantuku bermetamorfosis. Hingga menjelma menjadi butterfly nan elok dan rupawan. Walau kepakan sayapku tak seindah ekor si burung merak. Tapi sangat berharga, tak terbatas.

Busyyeett.....!!!! Busyyeettku adalah gadis kecil yang ingin jadi penyair. Yang terlahir dari kasta yang terakhir. Yang ingin terbang walau tak setinggi bintang. Tapi ikut mewarnai kehidupan, hingga tak sia-sia adanya.

Busyyeett. Gadis kecil itu kini menjelma. Menjadi kupu-kupu yang bisa menyeberangi sungai lahar yang menakutkan. Terbang ditemani sinar kunang-kunang. Menari riang di atas awang-awang. Busyyeett.....!!!!

"Tadi aku ditanya (Oleh wabup, red.), desaku, sekolahku, kelas berapa, bapakku," kata Atika yang mengenakan baju Islami motif bunga dan berjilbab warna oranye, usai pergelaran hingga nyaris tengah malam itu.

Sutanto Mendut, pemimpin tertinggi KLG Magelang yang berpidato kebudayaan di panggung dengan properti 20 penari kontemporer gunung Gupolo Gunung yang masing-masing di dalam kurungan ayam malam itu memperkenalkan Atika sebagai anak cerdas secara alamiah dari tepi Kali Putih, selalu berprestasi di sekolahnya, dan setiap hari membantu ibunya membuat camilan tradisional seperti permen tape, permen sirsak, jenang dodol, krasikan, dan wajik bandung di desanya yang kini telah rusak akibat terjangan banjir lahar. 

Atika yang hidup bersama ibunya karena ayahnya meninggalkannya sejak kecil itu, selama sekitar delapan bulan, sejak awal 2011, harus mengungsi karena desanya terkena terjangan banjir lahar Gunung Merapi melalui Sungai Putih.

"Jamasan Insan ini adalah jamasan manusia, jamasan hak asasi manusia. Kalau wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW itu `iqra` bukan semata-mata untuk membaca manusia secara kasat mata dari segumpal darah. `Iqra` isinya tentang pesan pendidikan dan kebudayaan yaitu membaca dan menulis. Bahwa kita ini manusia yang bukan istimewa, yang suka memvonis, mengadili, atau memutuskan surga dan neraka," kata Tanto Mendut yang juga pengajar Program Pascasarjana ISI Yogyakarta itu.

Sebelum para penari keluar dari kurungan ayam masing-masing dan mempersembahkan tarian Gupolo Gunung, simbol penjagaan kelestarian lingkungan gunung dan desa, grup musik Warga Budaya Gejayan mengiringi lantunan shalawat solo "Iqra" yang dibawakan seorang penembang Sismanto, dengan tabuhan lembut bende, kenong, dan gong.

Pada pergelaran tradisi Suran Tegalrejo bertajuk "Jamasan Insan" selama sekitar 2,5 jam itu, Candra Malik membawakan tiga tembang bernada sufistik dengan iringan gitar akustik, masing-masing berjudul Shiratal Mustaqim, Fatwa Rindu, dan Jiwa yang Tenang.

"Kita pikirkan kemana kita pulang. Ke Allah, tentu rindunya luar biasa. Rindu kita semua kepada Allah," kata Candra sebelum menembangkan lagu kedua berjudul Fatwa Rindu.

Acep Zamzam Noor membacakan dua syair masing-masing berjudul Ode untuk Penyanyi Dangdut dan Ada Banyak Cara, sedangkan Slamet Gundono menggunakan gitar mininya, berkolaborasi dengan pemetik gambus Habib Mustofa Al Habsi dan performa Suprapto Suryodarmo, memainkan repertoar Gambus Jawa.

Selain itu, belasan santri Ponpes API Tegalrejo dengan pemimpin grup Shollahudin Al Ahmed menyuguhkan tembang Syi`ir Tanpo Waton yang merupakan karya guru bangsa, Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

"`Kabeh tinakdir saking Pengeran. Kelawan konco dulur lan tonggo. Kang podho rukun ojo dursilo. Iku sunahe Rosul kang mulyo. Nabi Muhammad panutan kito. Ayo nglakoni sakabehane. Alloh kang bakal ngangkat drajate. Senajan asor toto dhohire. Ananging mulyo maqom drajate`," demikian salah satu syair yang mereka lantunkan dalam iringan tabuhan musik terbang itu.

Shollahudin mengartikan kalimat tembang berbahasa Jawa itu antara lain bahwa takdir berasal dari Tuhan sehingga terhadap teman, saudara, dan tetangga harus rukun dan jangan bertengkar. Hal itu juga sebagai sunah Rasul, Nabi Muhammad, teladan umat yang harus dijalankan. Allah mengangkat derajat manusia. Walaupun manusia tampilan fisiknya rendah, derajat spiritualnya mulia di hadapan Allah.

Gus Yusuf menyebut tradisi Suran Tegalrejo 2011 bertema Jamasan Insan dengan pergelaran berbagai karya seni dan budaya itu mengajak setiap individu menyadari hakikat kemanusiaannya.

"Senang saya malam ini dengan Jamasan Insan. Ini malam jamasan, kita terkadang melihat manusia, yang `disawang` (dipandang) `dedeg e` (tinggi badan atau fisiknya) manusia, tetapi kelakuannya seperti hewan, penindasan, petani digusur, disakiti, dibantai, banyak saudara-saudara kita tidak bisa makan karena jatahnya dikeruk orang kaya yang tidak puas dengan kekayaannya. Korupsi makin menjadi, panutan tak bisa jadi panutan," katanya.

Jamasan Insan, katanya, dorongan kesadaran terhadap setiap individu untuk membersihkan diri menjadi berhati mulia dan kembali sebagai manusia yang berlimpahkan cinta dan kasih sayang.  (M029*H018/Z002)
Editor: B Kunto Wibisono
Sumber: Antara News
Continue reading →

Pesantren Ahlusunnah Wal Jamaah, Menes, Pandeglang

0 komentar
KH. Tb. Entol Ahmad Asrori
Pesantren yang terletrak di desa Menes 40 Km sebelah utara kabupaten Pandeglang Jawa Barat ini didirikan oleh KH. Tubagus Entol Ahmad Asrori pada 11 Februari 1953. Kyai Ahmad alumni lembaga pendidikan Mathla'ul Anwar. Ia juga pernah mondok di pesantren Tebu Ireng, Jombang, sekitar tahun 1923.
Usaha mendirikan pesantren ini berjalan lamban. Baru pada tahun 1966 berhasil mendurukan kamar pemondokan santri. Dibukanya sistem madrasi pada tahun 1964 agaknya berkaitan erat dengan melimpahnya santri di Lembaga Mathaliul Anwar Menes, sehingga tidak tertampung. Untuk menyalurkan hasrat mereka, pimpinan pesantren mendirikan madrasah Masalihul Ahyar.
Pesantren ahlusunnah wal jama'ah menempati arela tanah seluas satu hektar. Sarana yang dimiliki antara lain sebuah masjid, 8 buah lokal madrasah dan 5 buah kamar santri. Bangunan madrasah digunakan bergantian untuk Ibtidaiyyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Tahun 1984 jumlah santrinya 205 orang, 100 putra dan 105 putri. Santri mukim 100 orang. Bagian terbesar datang dari daerah sekitar Pandeglang. Sebagian bersekolah di ketiga madrasah tersebut, sebagian lagi  hanya mengaji kitab. 
Seperti lazimnya madrasah di lingkungan pesantren, Masalihul Ahyar pun memberikan pelajaran kitab antara lain Asasul Islam, karangan KH. TB Ahmad sendiri, Kifayatul Ahyar, Fathul Muin, Asasul Iman, Ihya Ulumuddin, Tijan Dhurori, Fawaidul Jalilah, Alfiyah, dan Nihayatus Zen. Dua dari kitab-kitab tersebut digunakan sebagai pegangan dalam pengajian, yakni Asasul Islam dan Fawaidul Jalilah.
Dalam mengasuh pesantrennya, KH Ahmad dibantu oleh dua putra dan seorang menantunya. Sedangkan untuk menjalankan madrasah, ia dibantu 30 orang guru, yang seluruhnya swasta. Untuk seluruh kegiatan pendidikan baik madrasah maupun pengajian, pesantren menghabiska biaya rutin Rp. 250.000,- perbulan (1985). separuhnya bersumber dari iuran santri dan separuhnya lagi berasal dari bantuan masyarakat.
Di bidang ketrampilan pesantren menyelenggarakan latihan jahit menjahit diikuti 15 santri. Juga telag berdiri koperasi pesantren beranggotakan 25 orang. Kekayaannnya sampai tahun 1984 mencapai Rp. 75.000,00.

Continue reading →
Kamis, 15 Desember 2011

Refleksi Akhir Tahun: Diskusi Potret Kebhinekaan dalam Demokratisasi di Indonesia

0 komentar
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) mengundang bapak/ibu/sdr menghadiri diskusi refleksi akhir tahun dengan tema:
"Potret Kebhinekaan dalam Demokratisasi di Indonesia"
Narasumber:
KH. Imdadun Rahmat, M.Si (Wasekjen PBNU)
Pdt. Dr. Albertus Patty
Johny Nelson Simanjuntak (Anggota Komnas HAM)
Selasa, 20 Desember 2011
Pukul 12.00 – 16.00 WIB WIB (diawali makan siang)
Tempat: Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Lt. 8
CP: Very Verdiansyah (081510144307) dan Khayun Ahmad Noer (08988294116)
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari pulau-pulau, dari Sabang sampai Merauke, yang dihuni berbagai suku bangsa yang tentunya memiliki kebiasaan, adat-istiadat, kepercayaan, dan agama yang berbeda-beda. Keberagaman dan perbedaan ini menjadi kekayaan dan kekuatan bangsa yang diikat dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi satu). Negeri ini juga dikenal karena sikap menjunjung tinggi dan menghormati berbagai perbedaan yang ada. Semangat toleransi dan demokrasi telah melambungkan nama Indonesia di panggung internasional. .
Namun akhir-akhir ini di berbagai daerah, acapkali terjadi konflik yang disertai tindakan kekerasan yang disebut-sebut dilakukan oleh sekelompok atau golongan (suku dan agama) tertentu kepada kelompok/golongan lainnya. Frekuensi kekerasan sebagai bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi pada 2010 berjumlah 63 kasus atau rata-rata terjadi 5 kasus perbulan. Sedangkan tindakan intoleransi dan diskriminasi mencapai 133 kasus yang terjadi di sejumlah wilayah, Jawa Barat menempati posisi teratas. Adapun yang menjadi korban tindakan intoleransi dan diskriminasi mencapai 153 korban (Wahid Institute, 2010). Berdasarkan catatan Lembaga Studi dan Advokasi masyrakat (ELSAM), pada tahun 2011 ini, setidaknya terdapat 63 kasus pelanggaran atas hak dan kebebasan beragama. Model pelanggaranya pun cukup bervariasi, dari mulai intimidasi hingga pembakaran rumah peribadatan. Ironisnya, pelanggaran atas kebebasan beragama justru paling sering dilakukan oleh pemerintah. Alih-alih memberikan perlindungan terhada semua warganya, pemerintah malah menjadi pelaku utama pelanggaran tersebut. Selama 2011 tercatat 12 kasus pelanggaran dilakukan oleh Pemda, 13 oleh warga masyarakat, serta 10 kasus oleh massa yang mengatasnamakan Front Pembela Islam dan 9 kasus pelanggaran dilakukan oleh Polri. Ini belum termasuk pelanggaran yang berbentuk kebijakan. Di tahun ini, setidaknya sudah ada 11 regulasi daerah yang bertentangan dengan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, 9 diantaranya mengatur Ahmadiyah dan 2 diantaranya mengatur aliran keagamaan yang dianggap menyimpang.Tentunya tindakan kekerasan dan berbagai bentuk tindakan intoleran ini akan menimbulkan efek sosial dan menimbulkan pertanyaan penting: sejauh mana penghormatan akan perbedaan dan kebebasan beragama bisa tetap terjaga dan terjamin (terlindungi) sebagai sebuah kebanggaan dan kekayaan bangsa ini?
Sangat tragis, di tengah semangat globalisasi yang melanda bangsa ini, wacana kategori mayoritas versus minoritas, klaim atas kebenaran, dan prinsif monotheisme menjadi berkembang. Tentunya semangat globalisasi yang menuju kondisi multikultural dan multi agama ini sangat kontradiksi dengan apa yang terjadi di berbagai tempat (di Indonesia) dewasa ini.
Melihat tindakan kekerasan dan tindakan intoleransi yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia dewasa ini akan berdampak terhadap hubungan sosial, kesatuan dan persatuan, serta prinsip Bhineka Tunggal Ika yang sudah terbangun selama ini di Indonesia. Dalam hal ini tentunya, peran negara sangat dipertanyakan: Sejauhmana negara berperan dalam melaksanakan amanat/mandat konstitusi dan Undang-Undang dalam pemenuhan hak-hak warga negaranya (Sipol dan Ekosob). Termasuk dalam hal ini, hak atas kebebasan/kemerdekaan beribadah, beragama dan berkeyakinan.
Tentunya tindakan pembiaran atas berbagai peristiwa yang terjadi dewasa ini, merupakan pelanggaran dan pengingkaran negara terhadap hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi warga negara, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 22 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo Pasal 18 UU. No.12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik jo pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Dalam hal ini, negara telah mengingkari tujuan negara sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-4, yaitu:“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, selain itu, negara juga mengingkari nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara yang menginginkan keberagaman, persatuan dan kesatuan bangsa”.
Malah, di akhir tahun ini pemerintah mengeluarkan kebijakan keagamaan baru yang berpotensi melanggar hak asasi warganegara. Ali-alih mampu menjabarkan kebebasan beragama dan berkeyakinan secara lebih operasional sebagaimana dijamin oleh UUD Negara RI 1945 dalam Pasal 28 E, 28 I, dan Pasal 29, RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang saat ini sedang dibahas di DPR nampak malah memberikan ruang intervensi negara terlalu jauh dalam bidang keagamaan dan keyakinan. Draft RUU yang terdiri dari 11 bab dengan 55 pasal itu meletakkan kerukunan sebagai variabel independen yang mempengaruhi variabel-variabel kebebasan yang dijamin oleh konstitusi. Akhirnya, atas nama kerukunan, segala tindakan dapat dibatasi, meskipun mengandung muatan diskriminatif.
Berangkat dari kondisidan situasi yang sangat memperihatinkan ini, maka sangat mendesak untuk melakukan refleksi Potret Pluralisme dalam Demokratisasi di Indonesia. Diharapkan dari refleksi ini akan melahirkan rekomendasi langkah strategis ke depan untuk menguatkan penghargaan terhadap keberagaman dan pelaksanaan nilai-nilai demokrasi di Indonesia
Kegiatan ini terselenggara atas kerjasam P3M, JLKPK, dan AMAN
Demikian undangan ini disampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.
   
Hormat Kami,
­Abdul Waidl
Program Manager
Continue reading →

Label