Kamis, 29 September 2011

Massa NU Desak Radio Penyebar Radikalisme Ditutup

0 komentar
AKSI TEATRIKAL - Ratusan massa dari Aliansi Masyarakat Anti-Radikalisme (AMAR) menggelar teatrikal saat aksi menuntut penutupan sebuah radio komunitas di Jl Soekarno-Hatta, Kota Ponorogo, Kamis (29/9/2011).
P3M, PONOROGO - Sekitar seribu warga NU atau Nadhliyin di Kabupaten Ponorogo yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Antiradikalisme (AMAR), Kamis (29/9/2011) kemarin melakukan demonstrasi di pusat kota.
Massa menentang ajaran radikalisme Islam yang mereka sebut-sebut mulai muncul di wilayah tersebut. Koordinator aksi, Ahmad Subekhi yang juga komandan Banser Ponorogo mengatakan, pada 6 September lalu, radio Idzatul Al Khoir menyiarkan sebuah acara yang dianggap telah menyudutkan kaum Nahdliyin.
Disebutkan dalam acara itu, bahwa amaliyah Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan peninggalan agama tertentu di masa lampau.
Ada lima orang saksi yang mendengar siaran tersebut. “Dalam siaran radio itu, mereka mengafirkan sesama muslimin. Ini sangat menyakitkan. Jangan sekali-kali menyebut dirinya adalah yang paling benar,” katanya.
Karena itu, ia mendesak pihak-pihak terkait, segera menutup segala aktivitas radio tersebut. “Jika usai aksi ini, radio tidak segera ditutup, kami akan demo menurunkan massa yang lebih banyak,” ujarnya bernada mengancam.
Protes massal yang dilakukan sejumlah ormas NU, mulai dari Gerakan Pemuda Ansor, Banser, PMII, IPNU, serta IPPNU kemarin merupakan respons terbuka yang mereka lakukan secara masif atas aktivitas Radio ‘Idzatul Al Khoir’ yang ada di kantor Majelis Tafsir Al Quran (MTA). Mereka menilai radio itu menyebarkan ajaran berbau pertentangan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).
Suasana aksi sempat sedikit memanas saat massa yang berjumlah ribuan itu berhenti di depan kantor radio di Jalan Soekarno-Hatta, Ponorogo. Beruntung polisi segera membentuk pagar betis dan melarang pengelola maupun karyawan radio untuk keluar kantor, sehingga aksi kekerasan bisa dihindarkan.
Sementara itu, pengurus harian Radio Izzatul Al Khoir, Muhklis, membantah keras pihaknya menyebarkan ajaran sesat dalam siaran radio mereka. “Kami hanya berpedoman pada ajaran Islam yang sesungguhnya,” bantahnya.
Kemarin, ia sempat mencoba keluar dari dalam kantor radio untuk menemui massa yang berunjuk rasa. Namun, niat dia dilarang oleh aparat kepolisian dengan alasan menghindari terjadinya kesalahpahaman yang bisa berujung pada tindak kekerasan.
Muklis yang juga pengelola Islamic Center Abdulloh Ghohim Assam’il mengatakan, ia sejatinya siap berdialog secara damai jika banyak orang resisten dengan isi radio tersebut. Namun, ia meminta agar difasilitasi pihak berwenang.
Muklis berharap, perbedaan pemahaman mengenai ajaran Islam maupun materi siaran radio yang dipersoalkan warga tidak terus berlarut-larut, apalagi menyebabkan terjadinya konflik sosial. Kalaupun keberadaan radio komunitas berlatar belakang Islam tersebut dipersoalkan, ia mengisyaratkan akan berkompromi demi meminimalisasi potensi maupun risiko terjadinya kesalahpahaman dengan warga Nahdliyin.
Ketua PWNU Jatim, Mutawakkil Alallah meminta agar persoalan bid’ah menjadi perhatian semua pihak. Apalagi, masalah ini kerap mengundang perselisihan. “Adalah tugas pemerintah, kementrian agama, MUI, dan organisasi keislaman kita memberi pencerahan kepada masyarakat,” kata Mutawakkil.
Permasalahan yang timbul akibat bid’ah semata-mata karena kurangnya komunikasi antara masyarakat yang memahaminya dengan tokoh. “Kalau perkara bid’ah itu dikomunikasikan dengan baik dengan semua pihak, masalah tidak akan timbul,” tandasnya.
Kendati demikian, masyarakat sendiri harus mau memahami dan bisa menghargai perbedaan. Sebab, bid’ah memang diakui selalu menimbulkan pro dan kontra. “Aparat keamanan dan penegak hukum harus bisa mencegah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Mutawakkil.

Sumber: Tribun Online
Continue reading →
Rabu, 28 September 2011

Pesantren Wahid Hasim, Condong Catur, Depok, Sleman

0 komentar
Pesantren Wahid Hasyim dirintis oleh KH. Abdullah Hadi, seorang alumni pesantren Wonokromo, Bantul, pimpinan KH. Abdul Ghani. Selesai belajar Wonokromo tahun 1965, ia merintis sebuah Madrasah Diniyah bersama tiga orang warga masyarakat setempat.
Madrasah diniyah tersebut dibagi ke dalam tiga kelas. Tidak ada seleksi formal untuk kenaikan kelas di madrasah ini. Setiap santri yang telah selesai mempelajari satu kitab, boleh naik kelas untuk mempelajari kitab lain yang lebih tinggi. Hal ini berjalan selama tiga tahun, madrasah inilah yang merupakan cikal bakal pesantren.
Pada perkembangan selanjutnya, madrasah ini berubah menjadi Ibtidaiyah, dengan kurikulum Departemen Agama. Sejak saat itu, madrasah menerima bantuan guru negeri sebanyak tiga orang. Pada tahun 1973, sebuah sekolah PGA yang sedang mengalami krisis, bergabung dengan madrasah ini dalam pengelolaan KH. Abdullah Hadi. Di tangannya, sekolah PGA ini berhasl bertahan dan berkembang. Namun pada tahun 1980, PGA tersebut diubah menjadi Tsanawiyah dan Aliyah.
Pada tahun 1977, KH. Abudullah Hadi mendirikan sebuah pemondokan kecil untuk tempat bermukim lima orang santri. Sejak saat itu, jumlah santri terus meningkat. Pada tahun 1982/1983, jumlah mereka mencapai 112 orang. Untuk menampung mereka, pihak pesantren telah berhasil membangun 33 kamar santri. Sebagian besar merupakan pelajar dan mahasiswa di beberapa sekolah dan Perguruan Tinggi di Yogyakarta.
Selain itu masih terdapat santri non mukim yang diperkirakan berjumla 220 orang, terdiri dari orang tua, remaja, dan kanak-kanak. Juga masih ada sejumlah 224 orang murid Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah yang berada di kompleks pesantren. Murid Ibtidaiyah sendiri berjumla 124 orang; 61 putra dan 63 putri. Tsanawiyah 68 orang; 33 siswa dan 35 siswi. Sedangkan murid Aliyah hanya 32 orang; 20 siswa dan selebihnya putri.
Para santri mendapat pengajian kitab secara tradisional. Kitab yang dipelajari antara lain Fathul Qarib, Ta'lim Mutaalim, Nashoihul Ibad, Bulughul Marom, Hidayatul Hidayah, Alfiyah dan lain-lain. Mereka juga memperoleh pelajaran tambahan berupa latihan berpidato dan seni membaca al-Qur'an. Bagi orang tua, pengasuh pesantren memberikan wirid thariqat.
Pesantren yang menempati tanah seluas 3.500 m2 (1982) ini lebih dikenal dengan sebutan "Pondok Gaten" karena terletak di dusun Gaten, Kelurahan Condonggatur, Kecamatan Depok, Sleman, sekitar 1 km dari kota Yogyakarta. Semua alat transportasi dapat menjangkau lokasi ini, meskipun jalan hingga tahun 1982 belum diaspal.
Fasilitas yang telah dimiliki sampai tahun 1982 antara lain sebuah masjid, sebuah bangunan asrama santri dengan 33 kamar, 6 lokal untuk madrasah (Ibtidaiyah pagi dan Tsanawiyah serta Aliyah sore hari) dan ruang sekretariat. Di samping itu telah dimiliki juga sebuah ruang tamu, dua lokal ruang dewan guru, fasilitas MCK, dan termpat berwudlu.

Perkembangan
Pesantren Wahid Hasyim sendiri berdiri pada tanggal 11 Maret 1977 M/ 20 Rabiul Awwal 1397 H. dan terdaftar pada akta notaris (W22.Dd.UM.07.01-28 YK-94) dan menjadi Yayasan Pondok Pesantren Wahid Hasyim pada tanggal 12 Oktober 1994 M/7 Jumadil Ula 1415 H.
Pesantren ini sekarang diasuh oleh putera-puteri KH. Abdullah Hadi


  • Drs. KH. Jalal Suyuthi, S.H. Pengasuh Pondok Pesantren Wahid Hasyim

  • Drs. Kyai Syaiful Anam Pengasuh Asrama Putri An-Najah dan Al-Hikmah

  • Jazim Abdul Hadi Pengasuh asrama Takhasus MTs dan asrama Al-Hidayah 2

  • Hj. Nelly Umi Halimah Direktur Madrasah Hufadz wa Tafsir

    Pengurus Yayasan Pondok Pesantren Wahid Hasyim
    Ketua Umum : Muhammad Nur Wahid
    Ketua I : Abdul Mughits, S.Ag., M.Ag.
    Ketua II : Jazim Abdul Hadi
    Ketua III : Kyai Sunhaji


  • Kontak Pesantren Wahid Hasyim
    Pendiri               : KH. Abdullah Hadi
    Pemimpin           : Drs. KH. Jalal Suyuthi
    Alamat               : Jl. KH. Wahid Hasyim No.3 Gaten Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta 55283
    Pengajar             : 12 Orang
    Santri                 : 104 putera dan 49 puteri (2007)
    Telp                   :  (0274) 484284

    Continue reading →
    Minggu, 25 September 2011

    Abdul Waidl: Satu Lagi Tragedi Kemanusiaan di Solo

    0 komentar

    Ledakan terjadi di GBIS Kepunton, Solo, Minggu (25/9/2011) pukul 10.55. Ledakan diduga kuat sebagai aksi bom bunuh diri, menyusul tewasnya satu orang yang belum bisa diidentifikasi di halaman gereja tersebut.
    Selain satu orang tewas, delapan orang jemaat Gereja tewas, dalam peristiwa ini. yang berdiri di Jalan Arif Rahman Hakim tersebut. Kedelapan korban, berdasarkan laporan wartawan Kompas Sri Rejeki yang berada di lokasi, kini telah dilarikan ke RS Dr Oen, Solo.
    Terkait berita ini, Abdul Waidl, Sekjen Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), mengutuk aksi dan jaringan bom bunuh diri ini. "Kejam sekali sang pelaku bom bunuh diri dan para jaringannya. kami prihatin dan mengutuk atas kekerasan tersebut." tuturnya. 
    Menurutnya hal ini adalah tregedi kemanusiaan yang sama sekali tak dapat ditolerir, negara harus bertindak. "Kami di P3M, mengutuk keras aksi kekerasan di Gereja ini. ini perilaku biadab dan negara harus menangkap dan menghukum seberat-beratnya, pelaku dan jaringannya." katanya lebih lanjut.


    Continue reading →
    Senin, 19 September 2011

    Sejumlah Kiai Menilai Patung Bukan Syirik

    0 komentar
    Foto: Nanang/Tempo Interaktif
    P3M, Kediri - Insiden perusakan patung di Purwakarta, Jawa Barat oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama Islam menuai kecaman ulama. Sejumlah kiai sepuh Nahdlatul Ulama menilai perbuatan itu keliru dan jauh dari ajaran Islam.

    Pengasuh Pondok Pesantren Al Falah Ploso, Mojo, Kediri, Kiai Zainudin Jazuli mengatakan tidak semestinya perobohan patung itu dilakukan. Menurut dia tidak ada alasan sedikit pun bagi umat Islam untuk mengatakan musyrik terhadap patung tersebut. “Selama tidak untuk disembah dan menyekutukan Allah, biarkan saja,” kata Gus Din, panggilan Kiai Zainudin kepada Tempo, Senin, 19 September 2011.

    Hukum syariat Islam, menurut Gus Din, tidak mengatur larangan membuat atau mendirikan patung. Bahkan di zaman Rasul keberadaan patung sudah ada dan dibiarkan begitu saja. Kalaupun ada yang menyalahgunakannya untuk sesembahan, kewajiban orang Islam adalah mengingatkan tanpa kekerasan.

    Mantan Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa ini juga meminta umat Islam untuk tidak mudah diprovokasi pihak-pihak tertentu. Sebab tindakan anarkis itu bisa merusak kegiatan Istigotsah yang dilakukan sebelumnya.

    Pernyataan serupa disampaikan pengasuh Pondok Pesantren As’Saidiyah Jamsaren, Kediri Kiai Anwar Iskandar. Menurut dia, seharusnya perbuatan itu bisa dicegah, jika para ulama bisa mengkomunikasikan persoalan yang muncul dengan pemerintah. “Ini tanggung jawab MUI,” ujarnya.

    Keberadaan patung itu, menurut Gus War, tidak menjadi persoalan selama bukan untuk disembah. Hal ini sama halnya dengan perilaku warga yang memberi sesajen pada gunung dan sungai. Jika perbuatan itu dilakukan sebagai bagian dari kebudayaan, tentunya tidak bisa dicampur aduk dengan keyakinan beragama.

    Sebelumnya ribuan orang merobohkan dan membakar empat patung di Purwakarta, Jawa Barat, Ahad, 18 September 2011. Mereka beraksi setelah menghadiri acara halal bi halal dan Istigotsah di Masjid Agung. Aksi itu sebagai protes keras terhadap kebijakan Bupati yang tetap membangun patung-patung wayang golek meski telah diberi peringatan keras.

    HARI TRI WASONO


    Continue reading →
    Sabtu, 17 September 2011

    Pesantren Sebagai Jangkar Nasionalisme

    0 komentar
    Sejak awal sejarah perlawanan terhadap kolonial dilakukan oleh kalangan umat Islam, terhitung sejak pengusiran Portugis yang dilakukan oleh Adipati Unus terhadap penjajah portugis yang menduduki Malaka. Sejak itu kalangan santri selalu melakukan perlawanan terhadap penjajah, baik karena menjarah kekuasaan politik, menghisap seluruh hasil bumi, juga menindas bangsa Nusantara.
    Sementara kalangan non santri lebih bisa bekerjasama dengan penjajah, apakah itu Portugis, Belanda, Inggris atau Jepang. Mereka sebagai ambtenaar, sebagai serdadu bayaran, atau sebagai marsose. Bagi mereka tidak ada untungnya melawan Belanda, apalagi mereka sangat diuntungkan, baik secara ekonomi maupun politik dan sosial. Karena itu hampir tidak ada perlawanan terhadap penjajah yang dilakukan kelompok mereka. Semua perlawanan dating dari kaum santri.
    Hal itu tampaknya diakui pula oleh aktivis dan sekaligus sejarawan yakni Dr. Douwes Dekker atau Setiabudi mengatakan bahwa; jika tidak ada agama Islam di Indonesia ini, niscaya  akan lenyaplah kebangsaan  Indonesia dari kepulauan ini, karena derasnya arus faham kebaratan. Memang kebangsan akan tetap juga ada di Indonesia, tetapi  kebangsaan yang tidak asli lagi, ketika mereka menjadi blandis atau terbaratkan.
    Apalagi ada gerakan Politiek Kristening Belanda yang berusaha menjadikan Kristen sebagai agama dominan, yang menunjang sistem kolonial. Dengan alasan  kalau Islam yang berkembang maka kolonialisme akan terncam. Islam akan selalu menentang stelsel kolonial yang tidak adil dan menindas.
    Islam juga gigih mempertahankan identitas kebangsaan, sehingga tidak mudah dibelandakan atau dijinakkan. Karena itu kebangsaan Indonesia dan identitas kenusantaraan tetap ada, ketika kaum santri menempatkan diri sebagai jangkar kebangsaan. 
     
    sumber: NU Online
    Continue reading →
    Jumat, 16 September 2011

    Pesantren Tani, Roti, dan Sampah

    0 komentar

    Pondok pesantren Ashiriyyah yang berlokasi di Parung Bogor ini didirikan oleh Habib Saggaf Mahdi pada tahun 1998. Pembangunan pondok ini sebagai tanggapan Habib melihat jumlah pengangguran dan anak putus sekolah di lingkungan sekitar rumahnya. Ia percaya dengan pendidikan yang baik nasib kaum dhuafa bisa diperbaiki.

    Pesantren ini dimulai dari balai bambu berukuran 3 X 4 meter yang masih ada sampai sekarang. Pada awalnya, ia cuma memiliki seorang santri namun dalam tempo delapan tahun jumlah santrinya mencapai 8.000 orang. Setiap tahun ajaran, 700-an calon santri ingin bergabung. Daya tampung pesantren sudah melebihi kapasitas, tapi ia tidak bisa menolak santri baru sambil menyatakan bahwa anak-anak tersebut sangat memerlukan pendidikan. Oleh karena itu, kalangan santri pesantren ini berasal dari keluarga miskin, warga tak mampu maupun remaja putus sekolah. Pemandangan menarik ketika bulan puasa tiba. Seluruh santri diliburkan kegiatannya sampai setelah hari raya Idul Fitri. Dan mereka juga diantar mudik secara gratis sampai ke kampung halamannya masing-masing. Bagi mereka yang berasal dari Jawa dan Sumatra memakai bus dan bagi yang berasal dari Ambon, Nusa Tenggara dan Kalimantan memakai kapal laut.

    Habib lahir dari keluarga dengan tradisi Islam kuat, keinginannya mempelajari agama muncul setelah bertemu dengan ulama Bondowoso, Habib Soleh bin Ahmad bin Muhammad al-Muhdar. Kepada Saggaf yang waktu itu baru berusia 14 tahun, Habib Soleh berpesan,”Kamu bisa menjadi ulama besar jika mau belajar.” Saggaf kemudian mondok di pesantren darul Hadits, Malang selama hamper 13 tahun. Setelah ia ke masjid sayyidina Abbas di Aljazair. Lalu hijrah lagi ke Irak belajar ilmu tarekat. Ia baru pulang ke Indonesia lima tahun kemudian. Begitu pulang, kawan-kawannya menyarankan agar ia memperdalam lagi ilmu tarekat di Demak, Jawa Tengah.

    Puas belajar agama, Saggaf kemudian mendirikan pesantren di kampong halamannya di Dompu, Nusa Tenggra Barat, dan juga pesantren di Surabaya. Sempat menjadi penceramah sampai ke negeri jiran., ia akhirnya hijrah ke Jakarta pada tahun 1980 dan mendirikan majlis ta’lim di Masjid Agung Bintaro, Tangerang.

    Di Parung, Saggaf tak cuma mengajarkan ilmu agama kepada para santrinya, tapi juga pendidikan umum sesuai dengan standar Departemen Pendidikan Nasional mulai dari tingkat tsanawiyah (SLTP), aliyah (SMU) hingga perguruan tinggi. Para santri juga diharuskan mampu berbicara bahasa Arab dan Inggris sehingga para guru terbaik didatangkan dari berbagai universitas. Santri-santri angkatan pertama yang sudah lulus juga diberi kesempatan mengajar di pondok.

    Pesantren ini memang digratiskan seluruh biayanya namun bukan berarti para santrinya tidak diajarkan hidup mandiri. Setiap bulan, secara bergiliran mereka bertani dan mendaur ulang sampah. Hasilnya dibeli Habib dan uangnya diberikan kepada pengurus pesantren untuk biaya makan santri. Demikian pula hasil daur ulang sampah diberikan kepada pengurus pesantren untuk biaya pendidikan. Untuk menopang biaya operasional pondok, Habib mengandalkan hasil pabrik rotinya. Demikian pula sumbangan donatur tak bisa dikesampingkan. Banyak dermawan dari dalam maupun luar negeri membantu pondok. Bahkan ada sumbangan dari kalangan yang berbeda latar belakang agama. Gedung Universitas Habib Saggaf berdiri atas sumbangan Yayasan Budha Tzu Chi. Gedung pertemuan juga sumbangan Gandhi Sevalokayang, komunitas keturunan India di Indonesia.

    Semangat kebersamaan dan keberagaman memang memancar kuat dari pesantren ini yang bisa dijadikan sebuah model pesantren yang berpihak pada kaum lemah dan terpinggirkan. (TEMPO, 5 November 2006).

    Sumber: Majalah Tempo
    Continue reading →

    Pesantren dan Civil Society

    0 komentar

    PESANTREN adalah lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang selama ratusan tahun menjalankan fungsinya sebagai pusat pendidikan dan sekaligus benteng pertahanan Islam Nusantara. Dari sosok kelembagaannya pesantren merupakan adopsi dari pusat-pusat pendidikan keagamaan yang telah ada sebelumnya, baik Hindu maupun Budha dalam asrama-asrama (ashram) pembinaan kader para imam sebagai pelayan  dan pembimbing kehidupan spiritual dan keagamaan masyarakat awam. Dalam tradisi Kristiani, lembaga sejenis ini dikenal dengan seminari-seminari. Seperti juga di lembaga sejenis dalam lingkungan umat yang berbeda, pesantren bukan hanya sebagai tempat pendalaman keilmuan dan tradisi keagamaan yang dianutnya,  tidak kalah penting adalah sebagai pusat pelayanan masyarakat dalam pengertian yang luas.

    Masyarakat Sipil ( Civil Society ) di lain pihak, dipahami sebagai gugusan masyarakat yang berada di luar domein kekuasaan Negara (state) yang dikenal sebagai Political Society. Sivil society adalah gugusan masyarakat yang mengatur kehidupan mereka dengan tertib social yang mengacu pada nilai-nilai etika dan moral yang mereka yakini. Sementara Political Society adalah gugusan masyarakat yang mengandalkan tertib social mereka pada wibawa aparat pemaksa (coersive) melalui penegak hukum dan ketentuan-ketentuan formal lain atas nama Negara. Negara dan masyarakat Sipil bukan dua entitas yang saling menolak dan harus dipertentangkan. Tapi dalam suatu komunitas yang teratur dimana masyarakat sipil menguat, maka peranan Negara bisa diringankan; sebaliknya ketika masyarakat sipil melemah, maka Negara sebagai lembaga pemaksa pun menjadi sangat dominant.

    Dalam konstelasi seperti tersebut di atas, maka keyakinan dan kesadaran agama yang dianut penuh kesetiaan oleh warga masyarakat merupakan suatu elemen yang sangat penting bagi kehadiran Masyarakat Sipil. Warga masyarakat yang karena imannya dan ketaatan agamanya mampu mengendalikan diri dari hal-hal yang merugikan orang lain maupun diri sendiri, bahkan lingkungan alamnya, dengan sendirinya tidak terlalu bergantung pada peranan “negara” sebagi kekuatan pemaksa. Sebaliknya, dalam masyarakat di mana kesadaran berbuat baik (makruf) dan menjauhi kejahatan (mungkar) melemah, maka campur tangan negara sebagai kekuatan pemaksa dianggap sebagai penyelamat yang niscaya. Memang, persoalan utama bukan apakah kita harus memilih agama (sebagai kekuatan penyadar) atau negara sebagai (kekuatan pemaksa); melainkan  bagaimana memastikan tertib masyarakat secara lebih bermartabat. Tentu bahwa yang lebih sesuai dengan martabat manusiawi tentulah tertib social yang tumbuh dari kesadaran dalam hati dan akal budi, bukan karena paksaan atau ancaman. Pendekatan paksaan (coertion) adalah pilihan terakhir ketika kekuatan kesadaran gagal membimbing manusia di jalan yang benar.

    Sesunguhnya, keimanan seseorang terhadap ajaran agama tidak otomatis menempatkan yang bersangkutan pada apa yang kita sebut maqam kesadaran yang tinggi martabatnya. Dalam disiplin sprititualitas Islam (tasawuf), misalnya, diteorikan bahwa motivasi seseorang meninggalkan perbuatan jahat dan berbuat kebaikan pun bertingkat-tingkat: Tingkatan paling rendah adalah seseorang yang meninggalkan kejahatan (dosa) karena takut siksaan (neraka); tingkatan kedua adalah orang yang meninggalkan kejahatan dan berbuat kebaikan karena menginginkan pahala (sorga). Tingkatan ketiga, yang tertinggi, adalah orang yang meninggalkan keburukan dan berbuat  kebaikan semata-mata karena ingin meraih Ridlo-Nya. Dalam bahasa secular, pertama orang yang meningggalkan keburukan karena takut hukuman (punishment) baik oleh masyarakat atau Negara; kedua, oang yang  berbuat kebaikan karena ingin mendapatkan imbal jasa (reward) dari sesama; dan ketiga orang yang meninggalkan keburukan dan menjalankan kebaikan semata-mata karena, dalam kesadaran nurani-nya bahwa di situlah hakikat kemanusiaannya.


    ***

    Jika fundasi civil society adalah “kesetiaan pada nilai-nilai luhur  kemanusiaan” sebagai panggilan atau kewajiban moral (moral oblogation) dari dalam, bukan suatu paksaan kekuasaan dari luar, maka pertanyaan yang harus kita jawab di sini adalah: Seberapa besarkah peranan pendidikan, pesantren khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya telah berhasil membangun basis kesadaran tersebut? Jika jawabannya positif maka kita boleh mengklaim bahwa pesantren dan Islam memang adalah soko guru Masyarakat Sipil. Tapi jika jawaban negatif, maka  klaim itu pun secara otomatif menjadi terbantah. Untuk menjawab pertanyaan ini, ada pertanyaan primer yang harus dijawab lebih dahulu: Seberapa besarkan tradisi pesantren khususnya dan tradisi Islam umumnya menghargai akal sebagai pusat kesadaran perihal nilai-nilai moral tentang mana yang baik (makruf) dan mana dan yang buruk (munkar)? Pertanyaan ini diakui telah menjadi pusat perdebatan kalam dan filsafat Islam yang panas, bahkan keras.

    Dari bukti-bukti teks al-Qur’an dan Hadits Rasulullah sebenarnya sangat jelas pesannya bahwa “akal” manusia diyakini mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Hampir semua kebenaran dan kebaikan yang digaris bawahi oleh agama juga digarisbawahi oleh akal, dan sebaliknya. Ini tidak berarti bahwa – seperti dikatakan Muktazilah - agama (wahyu) tidak benar-benar diperlukan untuk tegaknya moralitas. Ada persoalan moralitas yang tidak mampu dijawab semata-mata oleh akal. Yakni, setelah nilai baik dan buruk menjadi jelas oleh akal,  pertanyaan penting selanjutnya adalah: Kenapa kita harus mengambil yang baik baik dan menjauhi yang buruk, dengan segala resikonya? Harus diakui, bahwa pertanyaan ini tidak selalu jelas bagi manusia dengan akal-budinya.

    Pertimbagan rasional untuk melakukan kebaikan kepada orang lain, paling lazim, adalah agar orang lain juga berbuat baik kepada kita. Inilah motivasi etika timbal balik (etika resiprokal, pamrih)  yang bisa dijangkau oleh akal: “Jika Anda ingin orang lain berbuat baik kepada Anda, maka berbuat baiklah kepadanya. Jika tidak ingin orang lain berbuat buruk kepada Anda, maka jangan berbuat buruk kepadanya”. Landasan baik-buruk seperti ini  mengandung problem serius. Jika ada orang yang sudah tidak lagi memerlukan kebaikan dari orang lain karena merasa telah memiliki segalanya, motifasi seperti apakah agar orang tersebut bisa tetap berbuat baik dan menjauhi yang buruk? Ketika tidak ada lagi ketergantungan atau kebutuhan pada orang lain, apalagi setelah meyakini bahwa orang lain sudah tidak mampu berbuat buruk padanya (mustaghni ‘amman siwâhu), maka dia tidak termotivasi lagi untuk berbuat baik kepada orang lain.

    Kebaikan sejati adalah ketika seseorang berbuat baik karena memang meyakini kebaikan sebagai keharusan dan sebagai tujuan hidup. Etika rasional tidak menjangkau motifasi yang bersifat transenden seperti ini, yakni manusia harus berbuat baik karena perintah dari Dzat Yang Maha Baik. Berdasarkan motivasi transenden dalam berbuat ini, maka untuk membangun masyarakat yang baik diperlukan beberapa persyaratan. Pertama, mengetahui baik buruk. Kedua, memastikan bahwa alasan berbuat baik dan menjauhi yang buruk adalah keyakinan transendental. Kemampuan etika rasional untuk mendorong perilaku masyarakat modern dengan kebaikannya sebetulnya karena dipaksakan oleh sistem hukum yang ada dan dipaksakan secara terus menerus sehingga lama-lama menjadi kebiasaan (habit). Di beberapa negera, sulit ditemukan orang yang membuang sampah di jalan. Orang Indonesia yang tinggal di sana pun ikut terbawa. Sebaliknya, ketika orang-orang negeri itu datang ke Indonesia, kembali menjadi orang jorok dan membuang sampah sembarangan. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi untuk disiplin adalah keterpaksaan sistem, karena aturan main yang dipaksakan dan diawasi dengan sangat ketat oleh negara dengan sanksi berat yang benar-benar diterapkan secara tegas dan tanpa, pandang bulu.

    Ada sebuah negara yang dinilai sebagai paling rendah tingkat korupsinya dengan skala 0,9. Jika dikaji, prestasi itu pun terjadi bukan karena kesadaran moral, melainkan karena keterpaksaan hukum atas kalkulasi nalar pragmatis;  bahwa jika korupsi dibiarkan maka eksistensi negara dan bangsa bersangkutan akan hancur. Jadi, korupsi di sana dikutuk bukan karena korupsi sebuah kemungkaran, yang secara moral harus ditolak, tetapi karena membahayakan eksistensi dirinya.  Artinya, jika ada korupsi yang tidak mengancam eksistensi dirinya, maka tentu akan dibiarkan. Ini dibuktikan ketika sejumlah koruptor negeri tetangga bersemubunyi disana berikut uang hasil korupsinya, ternyata mereka tetap dibiarkan karena justru menguntungkan pihaknya. Inilah “moralitas’ yang dibangun berdasarkan rasa takut kepada keburukan dan konsekuensinya (neraka), belum berdasarkan kecintaan terhadap kebaikan dengan segala kemuliaannya (Sorga dan ridlo Tuhannya).  Dalam pandangan kaum Sufis, moralitas seperti itu adalah yang terendah derajatnya.

    ***

    Bagaimana dengan umat Islam?  Harus dikaui, bahwa  Umat Islam  mempunyai masalah besar dalam upaya membangun kesadaran etik-moral ini. Pertama-tama karena tema kebaikan dan keburukan sebagai issu utama etika harus dipahami benar oleh akal. Maka, tidak ada keasadaran moral kalau tidak ada proses penalaran oleh akal, ta’aqqul. Sementara dalam sejarah intelektual Islam apresiasi terhadap akal telah lama mandeg akibat pemahaman yang keliru terhadap posisi Al-Ghazali terhadap filsafat. Akibatnya, dengan munculnya dominasi cara keberagamaan yang yang formalistik, Umat Islam berhenti bicara perihal etika dan moralitas sebagai kesadaran yang inherent dan hanief pada fitrah manusia. Yang lebih mereka suka adalah bicara syariat dalam pengertian sistem hukum (legal) tentang mana yang boleh dan mana yang terlarang seperti dikatakan oleh teks (nash).

    Padahal etika-moral di satu pihak dan hukum-legal di lain pihak, mempunyai perbedaan yang sangat jelas. Hukum yang dicari adalah kepatuhan, atau bahkan ketakutan, terhadap ancaman. Sementara etika-moral yang diandalkan adalah kesadaran. Di siniliha mengapa umat Islam pada umumnya selalu saja bicara tentang kemestian adanya negara sebagai yang tak bisa dipisahkan (undispensible) dengan keyakinan agamanya. Bahkan syariat tertentu yang sepenuhnya bersifat personal (seperti salat, puasa, dsb) pun hendak disandarkan penegakkannya kepada negara. Bagi mereka, tidak ada kebaikan (baca: perintah agama) dapat ditegakkan tanpa negara; seperti halnya tidak ada kejahatan (: larangan agama) dapat dihindarkan tanpa negara.

    Konsekuensi logis dari perspektif ke-Islaman seperti ini adalah munculnya bahaya permissivisme di kalanghan umat Islam manakal negara yang didambakan, negara yang sepenuhnya memikul implementasi syari’at Islam,  tidak ada dalam kenyatan. Dan inilah, rupanya, kenyataan yang terjadi selama ini dan khususnya dewasa ini. Segala hal yang sebenarnya menurut akal budi atau standard etik dan moral sebagai “buruk” (seperti: korupsi, nepotisme dan vavoritisme), ternyata begitu banyak dilakukan warga umat, semata-mata karena tidak ada ketentuan syariat (legal normatif) yang secara definitif (qath’iy) menghukumnya “buruk” dan kekuasaan negara pun tidak  sungguh-sungguh mengancamnya. Demikian pula, begitu banyak kebaikan dan keutamaan menurut akal budi atau common sense (seperti: pengembangan science, menjaga kelestarian alam dan keindahan lingkungan), tapi sedikit sekali yang peduli untuk menjalankannya, semata- karena tidak ada ketentuan syariat (legal normatif) yang secara definitif (qath’iy) menegaskan kebaikannya dan negara pun tidak sungguh-sunguh menuntutnya.

    ***

    Tapi keberagamaan (Islam) yang serba negara (etatistik) inilah  yang justru tengah berkembang sekarang. Seolah tidak ada satupun ajaran Islam yang bisa tegak tanpa negara. 

    [Masdar F. Mas'udi]
    Continue reading →

    Rohaniawan Lintas Agama Ingin Perubahan

    0 komentar
    P3M, JAKARTA- Rohaniawan lintas agama yang menggelar puasa dan doa bersama di depan Istana Merdeka selama tiga hari berturut-turut sejak Rabu (14/09/2011) hingga Jumat sore mengaku merindukan terjadinya perubahan pada bangsa ini, di tengah persoalan maraknya korupsi di pusat kekuasaan dan krisis moral para penguasanya.
    "Selama tiga hari kami ikut berpartisipasi dalam doa dan puasa ini dengan keterbebanan bahwa kita rindu terjadi pembaharuan pada bangsa kita ini. Kami rindu ada perubahan pada bangsa ini," kata Pendeta Sapar Supit dari Rohaniawan Kristen.
    Menurut Supit, para rohaniawan sebenarnya juga mendoakan para pejabat yang saat ini berkuasa agar mereka takut Tuhan, sehingga selalu memegang amanah rakyat. "Melalui doa dan puasa, kami berharap Tuhan akan mendengar," katanya.
    Supit mengatakan, ketika kerinduan akan perubahan pada bangsa ini dibangun rohaniawan lintas agama, maka yang terjadi adalah representasi keinginan rakyat Indonesia yang sesungguhnya juga ingin bangsa ini berubah. Tak lagi terpuruk akibat korupsi para penguasanya.

    Sumber: KompasDotcom
    Continue reading →
    Rabu, 07 September 2011

    Operasi “Keadilan” yang Tidak Adil

    0 komentar
    Memeriksa KTP dan mengharuskan penduduk kota memilikinya adalah wajar dan biasa saja.

    Yang menjadi soal dengan operasi Justisia adalah terasa ketidakadilan dan bias sosialnya, karena dari tempat-tempat operasinya, nampak yang berupaya dijaring adalah masyarakat berpenghasilan bertingkat pendidikan rendah.

    Operasi itu barangkali berguna untuk menertibkan administrasi kependudukan, tetapi tidak akan menjadi alat yang efektif untuk mengendalikan jumlah penduduk perkotaan.

    Ada persepsi salah seolah-olah yang pindah ke kota itu hanya orang miskin dan tidak terampil. Padahal warga dari semua kalangan pindah ke kota atau ke kota yang lebih besar, mencari peluang kehidupan lebih baik. Para sosiolog menyebut ini mobilitas fisik dan sosial ekonomi. Para ekonom menetapkan ini pilihan rasional, karena para migran itu sebenarnya berhitung untung-rugi.

    Kendati banyak orang miskin di kota, lebih banyak orang miskin di desa. Di kota terdapat kesempatan, dibandingkan dengan desa yang adem-ayem tanpa peluang sosial-ekonomi. Memang orang tidak selalu berhasil di kota, dan semuanya harus melalui kompetisi. Justru semangat dan kondisi kompetisi inilah yang membuat kota maju dengan inovasi-inovasi.

    Bukan hanya Jakarta yang menjadi tujuan migrasi. Semua kota besar, dan bahkan menengah, di Indonesia menjadi tujuan migrasi sementara (untuk pindah lagi ke kota yang lebih besar) atau tetap. Banyak dari kota-kota di provinsi lain bahkan tumbuh dengan tingkat yang lebih tinggi daripada Jakarta. Masalahnya bukan tidak ada upaya membangun kota atau provinsi lain, tetapi betapapun mereka berusaha, tidak ada yang dapat menyaingi “efisiensi” dan “kelebihan kompetitif” relatif Jakarta.

    Tingkat pertumbuhan ekonomi Jakarta selalu di atas tingkat pertumbuhan rata-rata ekonomi nasional. Sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk Jakarta selalu lebih kecil daripada tingkat pertumbuhan rata-rata nasional. Sangat mungkin tingkat pertumbuhan ekonomi semua kota besar lebih besar daripada tingkat pertumbuhan rata-rata ekonomi nasional. Menolak migrasi desa-kota dalam keadaan demikian berarti sikap egois tak mau berbagi surplus pencipataan kekayaan.

    Apakah Jakarta sudah terlalu padat penduduk sehingga kumuh dan harus menolak pertambahan penduduk? Kekumuhan terjadi bukan karena kepadatan penduduk, melainkan karena ada kesenjangan antara kepadatan penduduk dan kepadatan prasarana serta kemampuan kota melayani penduduknya. Karena itulah kita perlu membangun prasarana lebih baik dan meningkatkan daya dukung kota, sebanding dengan tingkat pertumbuhan ekonominya, untuk melayani pertumbuhan penduduk. Perlu dana banyak dan efisien. Jangan korupsi!
    Continue reading →
    Selasa, 06 September 2011

    Seratus Tahun ‘Ngalap Berkah’ di Ponpes Lirboyo

    0 komentar
    Sedikitnya 9.000 santri Ponpes Lirboyo Kediri bersama warga setempat mengkuti Salat Id di Masjid Besar AL Hasan, Rabu (31/8). Ada tradisi yang tetap ditegakkan selama seratus usai Salat Id bagi para santri.
    Mereka tak lekas meninggalkan masjid meskipun salat dan khotbah selesai. Ribuan santri berjubel menunggu Kiai Idris duduk di kursi samping tempat imam guna menunaikan ritual ngalap berkah dengan cara sungkem.
    “Sungkem memiliki makna lebih dari meminta maaf. Para santri mencari berkah (ngalap berkah) dari sungkem tersebut,” tutur Muthi’ulloh, Pengurus Santri Putra Ponpes Lirboyo Kediri. Ia pun menambahkan tradisi sungkeman hanya dilakukan para santri putra saja pada Kiai Idris. “Bagi santri putri tidak diperkenankan, karena bukan muhrim (tidak memiliki hubungan darah),” tambahnya.
    Tradisi ngalap berkah dengan cara sungkem pada kiai telah dilakukan para santri Ponpes Lirboyo sejak zaman KH Abdul Karim, pendiri ponpes. “Sejak Kiai Abdul Karim hingga Mbah Kiai Idris, tradisi sungkem telah dikakukan para santri lepas Salat Jumat dan Id,” tutur Muthi’.
    Ponpes Lirboyo sendiri didirikan tahun 1910 oleh KH Abdul Karim, seorang alim dari Magelang Jawa Tengah. Sejak KH Abdul Karim menjabat sebagai pengasuh, tradisi ngalap berkah telah dipertahankan hingga generasi ketiga, KH Idris Marzuqi. Terhitung 101 tahun sudah Ponpes Lirboyo menjalankan dan menjaga tradisi ngalap berkah.
    Dengan ngalap berkah dipercayai ilmu yang telah didapatkan para santri di Ponpes Lirboyo dapat bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat tidak hanya bagi diri sendiri dan keluarga, namun juga masyarakat ketika kelak para santri tersebut terjun ke masyarakat. “Kepandaian para santri yang didapat di pondok tidak seberapa, tapi setelah mendapat berkah dari kiai. Harapannya saat tamat belajar dapat mendirikan pondok di kampung halaman,” ujar Muthi’.
    Selain itu, ngalap berkah juga untuk mencari kemantapan ilmu yang didapat. “Kadangkala ada santri yang pandai di pondok, tapi jarang ngalap berkah ke kiai. Setelah pulang ke rumah, ilmu yang didapatnya menjadi sia-sia. Ada juga santri dengan kemampuan pas-pasan, tapi rutin sungkem. Setelah pulang kampung mampu mendirikan pondok. Itulah namanya mendapat barokah dari kiai,” tambahnya.
    Tradisi khas Ponpes Lirboyo selain sungkeman saat Hari Raya Idul Fitri adalah sowan. “Sebenarnya, selain sungkem di masjid. Ada sowan ke ndalem kiai yang dilakukan para santri hari raya pertama Idul Fitri. Biasanya, setelah itu para santri mudik ke kampung halaman masing-masing,” tutur Muthi’.
    Jika dalam istilah masyarakat umum, sowan dapat diartikan dengan bertamu. Namun, istilah sowan berlaku bagi keluarga kiai yang memiliki pondok pesantren. Sebutan sowan atau istilah populernya saat ini ‘open house’ hanya berlaku bagi para santri atau alumni santri pada keluarga kiai yang pernah diikutinya.
    Selain sungkem dan sowan, kegiatan lain yang dilakukan para santri dan keluarga kiai adalah ‘nyekar’ ke makam para kiai terdahulu di Ponpes Lirboyo. “Istilah ‘nyekar’ untuk para santri, namun sebutan bagi keluarga kiai adalah dzuriah,” ucap Muthi’. Ia pun menjelaskan bahwa ritual ‘tabur bunga’ ke makam dilakukan sore hari sebelum malam takbir, ketika pagi hari lepas Salat Id keluarga kiai melakukan dzuriah.*


    Continue reading →

    Pesantren Al Ihya: Kami Tak Keberatan Soal GKI Yasmin

    0 komentar
    Pesantren Al Ihya Bogor Jawa Barat menegaskan pihaknya tak keberatan dengan keberadaan bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin di dan membantah klaim dari Walikota Bogor soal penentangan keberadaan gereja tersebut oleh pihak Pesantren Al Ihya.
    Pimpinan Pesantren Al-Ihya, Kiai Toto Mustofa menjelaskan, pihaknya mendambakan ketentraman di setiap lapisan masyarakat yang dapat hidup damai dalam kemajemukan. "Sepanjang itu sesuai dengan hukum, kenapa kami harus merasa keberatan? Kecuali kalau pembangunan gedung itu terbukti ada manipulasi hukum. Apalagi kalau pembangunan gereja itu sifatnya liar,” ujarnya.
    Kiai Toto pun bahkan mengingatkan bahwa mesjid pun dapat digugat jika melanggar hukum. “Jangankan pendirian gereja, pendirian masjid pun dapat kami gugat kalau nyata-nyata dibangun di atas lahan milik orang lain. Atau pun menjadi masjid yang sifatnya memecah belah umat. Jangankan gereja, masjid pun bisa kami protes kok. Masjid berpotensi memecah belah umat akan kami labrak. Jangankan gereja, gitu," tegasnya.
    Bahkan dirinya juga mengaku seringkali mengundang tokoh-tokoh dari agama lain untuk menyambangi pesantrennya. Tujuannya untuk menjalin kebersamaan dan memperkuat hubungan yang sudah terjalin baik selama ini. Hal ini dibenarkan oleh Juru Bicara GKI Yasmin, Bona Singgalingging yang mengatakan bahwa Pesantren Al-Ihya bersikap koperatif dan bersahabat. Bahkan belum lama ini jemaat GKI Yasmin diundang dalam pertemuan silaturahmi.
    "Kiai Toto tetap pada posisinya selama ini. Tidak seperti yang digembar-gemborkan oleh Walikota Bogor Diani Budiarto. Beliau juga tidak keberatan sama sekali dengan berdirinya bangunan gereja di Jalan Abdullah bin Nuh itu. Yang penting dari pertemuan tadi adalah beliau menegaskan posisinya bahwa apa yang digembar-gemborkan oleh Walikota Bogor adalah kebohongan belaka. Karena Kiai Toto nampak menyambut kami dengan hangat sejak di teras rumahnya, dan ketika pulang pun kami dirangkul oleh beliau dan dikatakan sebagai sahabat," ungkapnya.
    Jika dalam kalangan masyarakat beragama sudah tidak mempermasalahkan lagi mengenai hal ini, kini ditunggu kinerja dan langkah pemerintah, apakah berani atau tidak untuk memindak tegas terhadap setiap pejabat negara yang menghalangi kebebasan beragama seperti Walikota Bogor.



    Sumber: Jawab News
    Continue reading →

    Label